Sepanjang sejarah, para ulama Islam tak cuma jadi penjaga ilmu. Mereka ibarat mercusuar yang tetap tegak berdiri, bahkan saat badai bencana menerjang. Mereka juga manusia biasa yang tak luput dari musibah. Bedanya, cara mereka menghadapinya meninggalkan jejak yang terus jadi pelajaran berharga.
Ada yang diuji dengan kehilangan keluarga. Ada yang menghadapi wabah, gempa, atau fitnah politik yang memecah belah. Tapi mereka kokoh berdiri. Menghadapi semuanya dengan senyum, lalu bangkit untuk memberi solusi.
Ini beberapa kisah tentang keteguhan hati mereka.
Imam Nawawi: Pengembara Ilmu yang Tak Punya Rumah
Bagi kebanyakan orang, tak punya rumah adalah musibah besar. Tapi bagi Imam Nawawi, hidup dalam kefakiran dan tanpa tempat tinggal tetap justru jadi bagian dari perjalanannya menuntut ilmu. Ia tinggal di masjid atau ruangan madrasah saat pindah kota untuk belajar.
Suatu ketika, banjir melanda. Buku-buku dan catatannya basah, sebagian hilang terbawa air. Murid-muridnya sedih melihatnya.
Dengan tenang, Imam Nawawi berkata, "Apa yang hilang dari tangan kita akan diganti Allah dengan apa yang mengalir dari lisan dan hati."
Ucapan itu bukan sekadar penghibur. Buktinya, dari tangannya lahir kitab-kitab monumental seperti Riyadhus Shalihin dan Al-Majmu’ yang hingga kini jadi rujukan utama.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani: Saat Masjid Dilalap Api
Riwayat menceritakan, masjid tempat Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengajar pernah terbakar. Jamaah panik. Kitab-kitab dan barang berharga lain hangus jadi abu.
Di tengah kepanikan itu, sang Syekh berdiri dan menyampaikan kalimat yang menenteramkan: "Api bisa membakar kayu dan bangunan, tetapi tidak bisa membakar majelis ilmu."
Keesokan harinya, yang terjadi justru di luar dugaan. Jamaah berdatangan lebih banyak. Orang-orang ramai membantu membangun kembali masjid, sekaligus ingin "dibangun" hatinya. Musibah kebakaran itu malah memperluas dakwahnya.
Imam Malik di Tengah Wabah Madinah
Madinah pernah dilanda wabah mematikan di masa Imam Malik. Banyak ulama dan warga meninggal, termasuk murid-murid dekatnya sendiri. Suasana kota dipenuhi kesedihan.
Ada yang bertanya, mengapa ia masih tetap mengajar di situasi seperti itu?
Imam Malik menjawab, "Ilmu adalah kehidupan. Ketika musibah menghampiri, justru manusia paling membutuhkan cahaya."
Ia tak mengajar karena tak takut mati. Tapi karena yakin, kepanikan lebih berbahaya daripada wabah itu sendiri. Keteguhannya jadi penyangga mental bagi seluruh masyarakat Madinah.
Artikel Terkait
842 Kilogram Obat-obatan dari Yogya Dikirim untuk Korban Bencana di Tiga Provinsi
Jenazah Terakhir Sandera Jadi Kunci Gencatan Senjata Fase Kedua Israel-Hamas
Ketika Ibadah Jadi Konten: Dilema Pamer Kesalehan di Era Digital
Susno Duadji Sindir Menhut: Jangan Lempar Bola ke Presiden, Urusan Banjir Itu Tanggung Jawabmu!