Ini bukan sekadar statistik. Ini tanda bahwa lingkungan terdekat anak sekolah, rumah, teman sudah tidak lagi suportif bagi jiwa mereka yang sedang tumbuh.
Kesehatan Mental Bukan Kemewahan
Di tengah krisis, layanan kesehatan mental justru terasa seperti mimpi. Mencari psikolog anak di daerah terpencil, bahkan di Puskesmas besar sekalipun, sering berujung frustrasi. Indonesia memang timpang.
Data Kemenko PMK (Desember 2023) menunjukkan rasio psikiater kita 1:223.587 penduduk. Jauh sekali dari standar WHO yang 1:30.000.
Layanan di sekolah pun tak memadai. Guru BK sering kewalahan, tanpa keahlian khusus untuk menangani gangguan mental yang kompleks.
Akibatnya, bantuan yang memadai cuma ada di klinik swasta dengan tarif selangit. Meski JKN mencakup layanan psikiatri, sulitnya akses dan minimnya tenaga ahli membuat kesehatan mental terasa seperti kemewahan.
Jerat Stigma: "Kurang Ibadah" dan "Manja"
Penghalang terberat justru datang dari ucapan-ucapan sumbang. "Depresi? Itu kurang ibadah," atau "Sudah, jangan manja." Stigma yang mengaitkan masalah mental dengan aib atau kurang iman ini membuat banyak keluarga memilih bungkam.
Ya, stigma sosial adalah penghalang utama. Di sisi lain, kita juga sering menormalisasi gejala berat. Kecemasan berlebihan atau kemarahan intens dianggap sebagai "fase remaja" belaka. Kita menolak mengakui bahwa anak-anak pun bisa sakit jiwa, dan butuh penanganan serius seperti halnya sakit fisik.
Ayo Bergerak! Saatnya Bertindak
Krisis ini tak akan selesai dengan harapan kosong. Butuh intervensi nyata, dan cepat.
Pemerintah harus menjadikan kesehatan mental anak sebagai prioritas. Perkuat integrasi layanan dalam JKN/BPJS. Perbanyak beasiswa untuk calon tenaga profesional.
Masyarakat dan keluarga wajib jadi garda terdepan. Putuskan rantai stigma lewat edukasi. Bangun lingkungan yang suportif.
Kita harus pastikan anak-anak kita tahu bahwa mereka tidak sendirian.
Satu hal pasti: Indonesia tak akan pernah mencapai Generasi Emas 2045 jika kesehatan mental anak-anaknya terus diabaikan. Sudah waktunya kita membuka mata, menghancurkan stigma, dan menempatkan kesehatan jiwa sebagai hak fundamental yang tak bisa ditawar lagi.
Artikel Terkait
Ketua Alumni Hukum Jayabaya Galang Bantuan Hukum untuk Korban Banjir Bandang Sumatra
Prabowo Panggil Jajaran, Beri Tenggat Dua Hari untuk Pulihkan Listrik di Sumatera
Kiai Said Aqil Usul PBNU Kembalikan Konsesi Tambang ke Pemerintah
Dapur Umum Berjibun, 164 Ribu Porsi Harian Selimuti Korban Banjir Sumatera