Menjerit dalam Sunyi: Krisis Mental Anak di Balik Hiruk Pikuk Kota
Lihatlah sekeliling. Di taman, di mal, atau sekadar di pinggir jalan. Anak-anak dan remaja dengan pandangan terpaku pada layar gawai adalah pemandangan yang terlalu biasa. Mereka menyendiri, terputus dari dunia nyata. Tapi di balik kesibukan digital itu, ada sebuah krisis yang tumbuh diam-diam. Sebuah "krisis senyap" yang menggerogoti masa depan.
Ini jauh lebih dari sekadar stres remaja biasa. Datanya sungguh mengkhawatirkan. Menurut Survei Kesehatan Jiwa Remaja Nasional (I-NAMHS) 2022, satu dari tiga remaja kita tepatnya 34,9% dari mereka yang berusia 10-17 tahun mengalami masalah kesehatan mental. Bahkan, satu dari dua puluh remaja (5,5%) sudah menderita gangguan mental yang jelas. Kecemasan dan depresi mayor mendominasi.
Di sinilah ironinya terasa pahit. Dari sekian banyak remaja yang bermasalah itu, cuma 2,6% yang benar-benar mendapat bantuan profesional. Survei Kesehatan Indonesia 2023 punya catatan lain yang tak kalah suram: kelompok usia 15–24 tahun punya angka depresi tertinggi. Bahkan, 0,39% di antaranya pernah punya pikiran untuk mengakhiri hidup.
Angka-angka ini adalah alarm bahaya. Dan kita terhambat oleh tiga masalah besar: akses layanan yang terbatas, biaya yang mahal, dan stigma sosial yang masih kuat mencengkeram.
Generasi Gadget: Dari Judi Online hingga Amukan
Masih ingat tangisan ibu yang tabungan sekolah anaknya habis digerogoti judi daring? Cerita itu bukan lagi kisah langka. Sudah jadi wabah.
PPATK melaporkan perputaran uang dari judi daring mencapai triliunan rupiah. Yang bikin merinding, mereka menemukan ada anak di bawah 10 tahun yang sudah kecanduan. Sepanjang 2024 saja, tercatat 1.160 anak di bawah 11 tahun terlibat, dengan transaksi mencapai Rp3 miliar.
Ini bukti nyata. Paparan gawai tanpa pengawasan melahirkan ancaman destruktif. Judi bukan cuma merusak mental anak, tapi juga menghancurkan keamanan finansial keluarga.
Selain judi, lihatlah kecanduan game dan gawai yang masif. Seorang anak yang mengamuk hebat karena hp-nya diambil, itu bukan lagi sekadar ulah nakal. Itu adalah tanda ketergantungan yang serius.
Bukan Candaan: Bullying dan Luka yang Tak Terlihat
Sekolah, yang mestinya jadi tempat aman, justru sering berubah jadi ladang trauma. Perundungan masih sering dianggap "candaan", padahal lukanya menetap di jiwa.
Menurut catatan KPAI, kasus kejahatan digital termasuk cyberbullying pada anak terus naik. Trauma akibat bullying ini sering diabaikan, padahal ia adalah pemicu kuat depresi dan kecemasan.
Puncak krisisnya memilukan: bunuh diri. Sepanjang 2024, KPAI mencatat 43 kasus anak yang mengakhiri hidup. Angka itu bertambah 26 kasus lagi di awal November 2025.
Data Pusiknas Polri punya catatan serupa. Dari total kasus bunuh diri hingga November 2025, 50 kasus melibatkan pelajar dan mahasiswa. Latar belakangnya beragam: masalah sekolah, tekanan akademik, dan yang paling sering perundungan.
Artikel Terkait
Ketua Alumni Hukum Jayabaya Galang Bantuan Hukum untuk Korban Banjir Bandang Sumatra
Prabowo Panggil Jajaran, Beri Tenggat Dua Hari untuk Pulihkan Listrik di Sumatera
Kiai Said Aqil Usul PBNU Kembalikan Konsesi Tambang ke Pemerintah
Dapur Umum Berjibun, 164 Ribu Porsi Harian Selimuti Korban Banjir Sumatera