Namun begitu, realitas politik kerap tak seidealis itu. Banyak alasan untuk bertahan. Mulai dari menjaga stabilitas pemerintahan, melanjutkan program yang sudah dirintis, hingga sekadar anggapan bahwa mundur adalah tanda kelemahan. Kultur pertanggungjawaban dengan cara mengundurkan diri memang belum mengakar.
Padahal, menurut sejumlah saksi, keputusan untuk mundur seharusnya lahir dari sebuah kejernihan. Ia bisa terbentuk dari tekanan batin mendalam setelah menyaksikan langsung penderitaan rakyat, yang tak tertolong oleh kebijakan yang seharusnya melindungi mereka. Tapi lagi-lagi, itu idealnya.
Kembali pada tiga nama tadi. Tekanan publik terhadap mereka tentu besar. Tapi apakah cukup untuk memicu sebuah pengunduran diri yang elegan? Sejarah menunjukkan betapa sulitnya. Langkah hukum seperti yang disinggung Iqbal mungkin lebih memungkinkan ketimbang melihat seorang menteri menyerahkan posisinya dengan sukarela.
Jadi, meskipun narasi tentang seorang pemimpin yang berani mundur demi moral terdengar heroik, realitanya berbeda. Di tengah duka Sumatra, jabatan-jabatan itu tampaknya masih akan tetap melekat. Mereka yang disebut-sebut bertanggung jawab masih tetap koar-koar, seolah tak ada yang terjadi. Dan sampai detik ini, belum ada tanda-tanda perubahan.
AM234
Artikel Terkait
Ulil Abshar dan Kekerasan Kultural: Ketika Wacana Agama Melegitimasi Perusakan Lingkungan
Kementerian Haji Buka Pendaftaran Petugas Haji Arab Saudi, Catat Tanggalnya!
GBK Macet Total, Ribuan Jemaat Serbu Perayaan Natal di Stadion Utama
Mimpi Sawit untuk Rakyat Tersandera Oligarki