Selasa pagi itu, sekitar pukul sembilan, suasana di Kelurahan Lopian, Tapanuli Tengah, berubah jadi mencekam. Air bah datang tiba-tiba, menerjang segala yang dilewatinya. Bagi Sri Syawal Tarihoran, seorang nenek 71 tahun yang biasa berdagang makanan, yang bisa dilakukan hanyalah pasrah.
Namun begitu, ini bukan banjir biasa. Arus deras itu tak hanya membawa air dan lumpur, tapi juga gelondongan kayu besar-besaran. Batang-batang kayu keras itu menyapu rumah-rumah warga bagaimana pun adanya.
Awal Mula Semuanya Berubah
Sri Syawal masih berusaha menahan tangis saat bercerita. Sungai Lopian, yang biasanya tenang, mendadak berubah ganas. Awalnya cuma luapan kecil yang masuk ke rumahnya. Ia bahkan sempat menyapunya, berharap air cepat surut.
Tapi beberapa menit kemudian, gemuruh datang dari arah sungai. Suara itu bikin jantungnya berdebar kencang.
Air datang lebih besar. Jauh lebih besar. Membawa segala isi perbukitan.
Dia langsung berlari ke kamar, berusaha membangunkan anaknya yang masih terlelap. Tapi waktu seolah tak cukup. Sebelum sempat menyelamatkan apapun, air sudah meninggi, setinggi leher orang dewasa. Dalam kepanikan itu, mereka berusaha keluar, merangkak ke tanah yang lebih tinggi.
"Awalnya air, kemudian kayu-kayu sebesar ini," ucap Sri, sambil menunjukkan ukuran kayu yang nyaris menimbunnya hidup-hidup.
Artikel Terkait
Di Tengah Ketegangan Assam, Seruan Azan Berubah Jadi Isyarat Penyelamatan
Bencana Aceh-Sumatra: Saat Teologi Pembebasan Menuntut Keadilan untuk Bumi yang Terluka
Dari Tangerang ke Papua: Seorang Guru Menemukan Panggilan di Ujung Timur Indonesia
Relawan PMI Tiba di Aceh Tamiang, Dihadang Pemandangan Pilu Pascabencana