Dan yang terpenting: bencana ekologis di negeri ini bukan lagi murni “bencana alam”. Ini jelas-jelas bencana kebijakan.
Namun begitu, alih-alih membaca bencana sebagai alarm peringatan, para pejabat justru melihatnya sebagai gangguan dalam komunikasi publik. Daripada menjelaskan, mereka memilih meremehkan. Ketimbang bertanggung jawab, mereka sibuk mencari kalimat paling aman untuk menutupi noda yang sudah terlalu lebar untuk disembunyikan.
Itulah warisan rezim lama yang masih hidup: refleks untuk menyangkal. Bahkan ketika jurang antara kebohongan dan kenyataan sudah sedalam itu.
Ini ironis. Prabowo sebenarnya punya modal moral untuk memutus rantai itu. Dia sering bicara tentang kejujuran, keberanian menghadapi kenyataan, dan reformasi besar. Wajar jika publik berharap presiden baru ini akan membawa sikap baru terhadap kebenaran.
Tapi harapan itu langsung terpukul. Kenyataannya, kabinetnya justru diisi banyak orang yang selama sepuluh tahun terakhir menjadi arsitek, penjaga, atau penikmat narasi kebohongan negara. Mereka terbiasa menolak realitas saat realitas mengancam kekuasaan. Mereka berdiri kokoh di bawah payung oligarki, memandang publik bukan sebagai subjek demokrasi, melainkan sekadar audiens yang persepsinya bisa diatur.
Jadilah kabinet yang gagap menghadapi kenyataan: kabinet penyangkal realitas. Banjir Aceh adalah panggung perdananya. Prabowo sekarang berada di titik kritis. Dia harus memilih: menjadi presiden yang memperbaiki warisan buruk, atau malah mewarisi keburukan itu begitu saja. Dia tak bisa terus bersembunyi di balik alasan “masa transisi”. Tidak bisa membiarkan menteri-menterinya berbicara seolah publik ini bodoh, tuli, dan buta.
Aceh dan Sumatra menunjukkan betapa bahayanya ketika negara menolak realitas ekologis, tetapi tunduk pada realitas oligarki. Ketika seorang menteri menyebut gelondongan kayu di tengah banjir sebagai “kayu telanjang biasa”, itu bukan sekadar salah komunikasi. Itu adalah simbol. Tanda bahwa rezim bohong belum berakhir. Jantung kekuasaan masih berdetak dengan logika lama: sembunyikan kenyataan untuk menjaga kenyamanan politik.
Prabowo harus memilih. Apakah akan membiarkan kabinetnya hidup dalam tradisi penyangkalan, atau menegaskan bahwa eranya adalah era baru era di mana kebenaran bukan lagi musuh kekuasaan?
Banjir Aceh sudah menjawab. Reformasi kabinet diperlukan. Bukan besok, bukan nanti, tapi sekarang. Negara tidak bisa diselamatkan oleh pejabat yang takut pada kenyataan. Rakyat juga tidak bisa terus hidup di bawah kekuasaan yang menjadikan kebohongan sebagai kebijakan.
Kebenaran bukan ancaman. Justru, kebenaran adalah satu-satunya hal yang masih bisa menyelamatkan republik ini.
Bali, 5 Desember 2025
Tentang Penulis :
M. Isa Ansori adalah Penulis dan Akademisi, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, Wakil Ketua ICMI Jatim.
Artikel Terkait
Lampung Tuntaskan Perbaikan Jalan 70 Km Lebih Cepat dari Jadwal
Delapan Belas Situs Yogya Berebut Status Cagar Budaya
Tanggul Muara Baru Retak, Solusi Permanen Baru Tersedia 2026
Hakim MK Sorot Pernyataan BNPB: Seleksi Perwira TNI di Lembaga Sipil Sudah Benar?