Banjir dan tanah longsor yang menerjang Aceh, Sumut, dan Sumbar memang menghancurkan. Rumah hanyut, jalan putus, sawah terendam. Tapi, ada kerusakan lain yang tak kasat mata, yang mungkin lebih dalam dan lebih lama menggerogoti: dampaknya terhadap jiwa masyarakat.
Menurut Muhammad Iqbal, psikolog sekaligus Associate Professor dari Universitas Paramadina, penderitaan batin para korban bisa dibilang setara bahkan mungkin lebih dibanding kerugian materiil yang mereka tanggung.
"Pengamatan saya di lapangan terlihat dengan sangat jelas bahwa dampak psikologis penyintas tidak kalah berat dibanding kerusakan fisiknya," ujar Iqbal.
Bayangkan saja. Dalam sekejap, orang kehilangan keluarga, tempat tinggal, lahan yang diwarisi turun-temurun, hingga mata pencaharian. Situasi seperti itu, lanjutnya, menciptakan tekanan mental yang luar biasa berat. Apalagi dengan masih banyaknya laporan warga hilang, kondisi ini terus mengancam kesejahteraan psikologis mereka yang selamat.
"Para ahli menilai kondisi ini tidak hanya mencerminkan krisis ekologis dan ekonomi, tetapi juga krisis kemanusiaan yang mengancam kesejahteraan psikologis penyintas," tegasnya dalam keterangan pada Jumat (5/12).
Iqbal memaparkan, dampak psikis yang kerap muncul pasca bencana macam ini beragam. Mulai dari reaksi stres akut, gangguan kecemasan, duka yang berkepanjangan, hingga Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Angkanya pun tak main-main. Penelitian menunjukkan, sekitar 30 sampai 50 persen penyintas bencana besar bisa mengalami gejala PTSD dalam tiga bulan pertama. Kelompok seperti anak-anak dan lansia, menurut catatan UNICEF, adalah yang paling rentan merasakan dampak psikologis berkepanjangan ini.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Iqbal menekankan, pemerintah dan semua pihak perlu menangani fase pascabencana dengan melibatkan dukungan profesional. Bukan sekadar bantuan fisik.
Artikel Terkait
Jenazah WNI Korban Kebakaran Hong Kong Terganjal Regulasi Setempat
DPR Soroti Penanganan Bencana Sumatera: Bantuan Harus Merata, BBM Jangan Langka
Sjafrie Buka Kartu: TKA China di Morowali Bukan Cuma Soal Tenaga Kerja
Korban dan Pelaku: Dua Wajah dari Satu Perang yang Tak Pernah Berakhir