Ia mengakui ada olahan daging anjing di antara hidangan, namun dengan tegas membantah adanya paksaan. “Nah ini kan khusus yang... tahunya ada makanan yang B1 itu. Tidak memaksa,” ucapnya.
Namun begitu, penjelasan itu ternyata tidak cukup. KemenImipas tetap bersikukuh memberikan sanksi pencopotan. Tampaknya, ada pertimbangan lain yang lebih berat di balik keputusan tersebut.
Gelombang protes awal justru datang dari parlemen. Informasi soal dugaan pemaksaan ini pertama kali diungkap oleh anggota Komisi XIII DPR RI Fraksi PKB, Mafirion.
“Tindakan Kepala Lapas memaksa warga binaan muslim mengkonsumsi makanan yang jelas dilarang dalam ajaran Islam, bukan hanya tindakan tidak pantas, tetapi juga pelanggaran hukum dan HAM,” tegas Mafirion dalam pernyataannya akhir November lalu.
Ia menekankan, “Negara wajib melindungi hak beragama siapa pun, termasuk warga binaan. Copot dan proses secara hukum.”
Tekanan dari DPR itu rupanya menjadi salah satu pemicu aksi tegas kementerian. Meski versi kejadian masih simpang siur, pencopotan jabatan telah terjadi. Kasus ini menyisakan pertanyaan tentang budaya di balik tembok lapas dan sejauh mana perlindungan terhadap hak-hak dasar penghuninya.
Artikel Terkait
Jalan Tol Kapalbetung Dinyatakan Layak untuk Arus Mudik Nataru
Kader Muda NU Soroti Penyimpangan, Desak PBNU Kembali ke Jati Diri
Sumsel Belum Tetapkan Siaga Bencana, Tiga Daerah Sudah Bergerak Lebih Dulu
Di Balik Reruntuhan Banjir Aceh, Luka Batin yang Mengintai