Duka masih menyelimuti Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Pasca bencana beberapa hari lalu, kerusakan yang begitu luas dan banyaknya warga terdampak membuat kita semua berpikir: bagaimana ini bisa terjadi?
Di tengah situasi itu, suara para ahli pun muncul. Salah satunya adalah Prof Dr Mohammad Adib Drs MA, Guru Besar FISIP Universitas Airlangga. Dari kacamata antropologi ekologi, beliau punya pandangan yang cukup tajam.
Menurutnya, apa yang sering kita sebut 'bencana alam' sejatinya lebih tepat disebut bencana antropogenik. Artinya, bencana yang dipicu ulah manusia sendiri. Kita perlu mengubah cara memandang musibah ini. Banjir, tanah longsor, atau kekeringan ekstrem bukanlah bentuk kemarahan alam, melainkan konsekuensi dari cara kita mengelola ruang hidup.
Ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima media, Jumat (5/12).
Prof Adib juga menyoroti soal tata kelola ruang yang amburadul. Pembangunan, katanya, kerap hanya memikirkan kepentingan jangka pendek manusia semata. Hak-hak ekologis alam pun terabaikan. Daerah resapan air, bantaran sungai, hutan kota semua ruang untuk bumi bernapas itu pelan-pelan berubah jadi beton dan bangunan.
tegasnya.
Persoalannya tak cuma di tata ruang. Ada hal lain yang menurut Prof Adib turut memperparah krisis ini: perubahan nilai budaya. Dulu, masyarakat tradisional memandang alam sebagai mitra hidup. Dari sana lahir kearifan seperti pamali atau hutan larangan yang menjaga keseimbangan. Sekarang? Pola hidup modern yang serba ingin memiliki telah mendegradasi alam menjadi sekadar objek eksploitasi.
Artikel Terkait
Dayeuhkolot Lumpuh Lagi, Warga Terpaksa Nekat Terobos Banjir Setinggi Pinggang
Jejak Global Ratu Narkoba Paryatin Terbentang dari Asia hingga Amerika
Malang Tergenang: 39 Titik Banjir, Air Sampai Dada dan Rumah Jebol
Titiek Soeharto Murka: Truk Kayu Ilegal Melintas Usai Banjir Besar Sumatera