Di Balik Tenda Proyek, Perang Dua Wajah Jurnalisme Terbongkar

- Jumat, 05 Desember 2025 | 06:06 WIB
Di Balik Tenda Proyek, Perang Dua Wajah Jurnalisme Terbongkar

Aroma tinta di kantor Kabar Kilat sore itu terasa manis, entah mengapa. Fitrah Nusantara duduk di mejanya, masih meresapi status barunya: wartawan resmi, sudah lulus uji kompetensi dan terverifikasi Dewan Pers. Akhirnya, legal sepenuhnya.

Bos Top melintas sambil menyeruput kopi hitam pekatnya yang melegenda.

"Job desk baru apa nih buat si jagoan kita? Liputan kuliner, mungkin? Atau jodoh? Biar hidupmu ada warna sedikit," ledeknya.

Fitrah cuma tersenyum. "Yang santai aja, Bos. Yang nggak bikin deg-degan atau bikin kompromi."

"Siap, Bos!" sahut Bos Top sambil tertawa. "Besok kamu berangkat ke peresmian proyek drainase. Aman, paling cuma ketemu lintah atau kodok."

Keesokan harinya, cuaca di lokasi proyek sungguh panas. Tapi Fitrah justru merasa tenang, seperti sedang libur dari hiruk-pikuk berita politik. Acaranya sendiri sepi. Cuma ada tenda kecil dan beberapa spanduk yang sudah kusam, seolah melanggar aturan tak tertulis soal estetika.

"Ini terlalu santai," batinnya. Dia mengeluarkan kamera dan lencana pers barunya yang kinclong. Di dompet lencana itu, dengan bangga dia selipkan dua kartu: identitas dari Kabar Kilat dan kartu UKW-nya.

Namun begitu, ketenangan itu langsung menguap begitu dia mendekati meja registrasi. Sekelompok pria sekitar enam orang sedang berdebat keras dengan panitia yang wajahnya pucat pasi.

Mereka pakai jaket safari lusuh. ID card yang digantungkan di leher mereka ukurannya fantastis, hampir sebesar papan pengumuman, bertuliskan ‘Kabar Instan 24 Jam Nonstop Anti Hoax Club’.

"Jatah kami mana?!" teriak pemimpin mereka, seorang pria tambun berkumis yang kelak diketahui namanya Bang Jarwo. Suaranya menggelegar. "Media sekelas kami nggak dikasih 'transport'? Ini pelecehan!"

Penasaran, Fitrah mendekat. Dia sudah biasa menghadapi politisi licin, tapi gerombolan ini... licinnya lain. Lebih berantakan.

"Maaf, Bang. Ada masalah apa?" tanyanya, memainkan peran wartawan lugu.

Bang Jarwo menoleh. Matanya menyipit menatap lencana Fitrah yang jelas-jelas asli, bukan hasil print-an sembarangan. "Kami lagi perjuangkan hak, Dek! Hak imunitas pers kami terancam!"

"Hak yang mana, Bang?" Fitrah hampir tertawa.

"Ya amplop, lah! Masa liputan cuma-cuma? Wartawan zaman sekarang harus cari pemasukan sampingan!" sahut seorang anggota lain yang bertubuh kurus dan berkacamata tebal.

Fitrah tersenyum. "Oh, jadi Abang-abang ini wartawan... jenis khusus?"

Mereka langsung melotot. "Jangan asal ngomong! Kami ini jurnalis independen! Metodenya aja yang... agak unik," bela Jarwo.

"Unik gimana? Medianya sudah terverifikasi Dewan Pers belum?" Fitrah sengaja sedikit mengangkat lencananya. Kontras sekali dengan 'talenan' yang mereka pakai.


Halaman:

Komentar