Pencitraan di Tengah Bencana: Ketika Solidaritas Warga Mengalahkan Gagalnya Negara

- Jumat, 05 Desember 2025 | 05:00 WIB
Pencitraan di Tengah Bencana: Ketika Solidaritas Warga Mengalahkan Gagalnya Negara

Lagi-lagi, yang bergerak adalah warga bantu warga. Ambil contoh di Republik Rakyat Bantul. Sebuah warung makan memasang pengumuman: mahasiswa asal Aceh, Sumut, Sumbar yang terdampak bencana, cukup tunjukkan KTP, boleh makan gratis. Itulah solidaritas yang sesungguhnya, sederhana namun luar biasa.

Mirip seperti saat pandemi dulu. Saat negara muncul dengan tentara dan polisi memaksa rakyat, justru gerakan "rakyat bantu rakyat" yang tumbuh. Mereka yang mengantarkan makanan, mengurus kebutuhan, membantu isolasi mandiri.

Negara dan pejabatnya? Kini kita tahu, ratusan triliun dana Covid hilang tak bisa dipertanggungjawabkan. Uang rakyat itu akhirnya berubah jadi dana politik untuk melanggengkan kekuasaan.

Pola ini terus berulang. Kita selalu tahu terlambat. Dan maaf, berdasarkan pengalaman, lembaga penanggulangan bencana pun tak kebal korupsi. Kita juga tahu siapa yang kini memimpin Basarnas dan BNPB.

Lalu ada orang seperti Nanik Deyang. Dia dengan cepat memuji-muji militer yang turun, dan berharap mahasiswa yang demo ikut terjun juga.

Nanik, yang karirnya melesat lebih cepat dari roket karena tiba-tiba mengurus dana triliunan per hari (MBG), tentu akan berkata apa saja untuk membela rezim junjungannya. Persis seperti dulu saat dia bilang Ratna Sarumpaet dipukuli karena politik, padahal si Ratna cuma habis oplas. Jadi, abaikan saja omongan Nanik yang wajahnya susah dibedakan lagi nangis atau lagi ngeden itu.

Fungsi negara yang paling dasar adalah menolong mereka yang tak berdaya. Kaum anarkis paling anti-negara pun mungkin setuju pada titik ini. Kalau fungsi sederhana itu saja tak bisa dijalankan, apa salahnya kita bilang negara ini gagal? Bahwa sistem ini sedang membusuk?

(Made Supriatma)


Halaman:

Komentar