Prinsip strict liability atau tanggung jawab mutlak dalam UU Lingkungan Hidup menyatakan pelaku usaha tetap bertanggung jawab atas pencemaran atau kerusakan yang ditimbulkan, meski mereka mengklaim telah mematuhi semua prosedur. Izin bukanlah tameng moral, apalagi penghapus akibat. Izin hanya mengatur pintu masuk, bukan membebaskan dari tanggung jawab.
Yang pahit, jika kegiatan industri merusak hutan dan DAS hingga memicu banjir, yang paling menderita bukanlah pemegang saham di kota. Melainkan rakyat kecil di hilir yang kehilangan segalanya. Kerugian semacam ini tak boleh lagi dianggap sebagai "konsekuensi pembangunan". Ini adalah akibat dari aktivitas ekonomi yang mengambil keuntungan privat, tetapi membebani publik. Dan dalam masyarakat yang adil, beban publik tidak boleh dipikul sendirian oleh rakyat.
Menurut sejumlah saksi dan pelaku di berbagai negara, gugatan masyarakat untuk keadilan ekologis bukanlah hal baru. Dari Belanda, Bangladesh, hingga Filipina, masyarakat berhasil menuntut negara dan perusahaan untuk memperbaiki kebijakan dan menanggulangi dampak bencana.
Indonesia sebenarnya tidak kekurangan dasar hukum. Yang kurang mungkin adalah keberanian untuk benar-benar menggunakannya.
Sekarang ini, untuk pertama kalinya, kita punya modal kuat: data ilmiah yang solid, rekam jejak bencana yang berulang, bukti deforestasi yang nyata, serta kesadaran publik yang semakin terbuka. Kita mulai paham bahwa ini bukan takdir.
Maka, ketika rakyat menggugat negara, itu bukan tindakan permusuhan. Itu adalah cara mereka berkata, "Kami ingin negara menjadi pelindung kami, seperti yang dijanjikan."
Begitu pula saat rakyat menggugat korporasi, itu bukan sikap anti-investasi. Itu seruan sederhana: "Ambil keuntunganmu, tapi jangan lupakan tanggung jawab."
Dan membawa data ilmiah ke pengadilan? Itu bukan tindakan emosional. Itu justru tindakan terdidik, beradab, dan sangat konstitusional.
Pada akhirnya, hakim tak bisa menolak kebenaran. Banjir dan longsor bukan lagi misteri. Ilmu pengetahuan sudah memberikan petanya. Data sudah berbicara, kerusakan terlihat jelas, dan korban sudah terlalu banyak berjatuhan.
Pertanyaannya kini bukan lagi bisakah masyarakat menggugat. Tapi, berapa lama lagi masyarakat harus menderita tanpa keadilan, sementara penyebab bencananya bisa dihitung, dipetakan, dan dibuktikan dengan jelas?
Sudah saatnya masyarakat Indonesia menagih jawaban. Sudah saatnya negara dan korporasi mempertanggungjawabkan peran mereka. Dan bila jawaban itu tak kunjung datang, pengadilan adalah tempat paling terhormat untuk mencarinya.
Karena keadilan ekologis bukan hadiah. Itu adalah hak setiap warga negara.
Penulis adalah penggiat pendidikan serta pemerhati sosial dan lingkungan hidup.
Artikel Terkait
Rob Menggenangi Dua Desa di Subang, Ratusan Rumah Terendam
Korban Tewas Banjir Bandang Sumbar Tembus 194 Jiwa, Ratusan Masih Hilang
Jembatan Kewek Yogya Dapat Suntikan Rp19 Miliar, Perbaikan Total Dijanjikan 2026
Uji Coba Malioboro Tanpa Kendaraan, Ojol dan Andong Keluhkan Pendapatan Anjlok