Tanggal 4 Desember 2025 bakal dicatat dalam sejarah. Di bawah pimpinan Amerika Serikat, Rwanda dan Republik Demokratik Kongo akhirnya menandatangani sebuah perjanjian damai. Upacara itu berlangsung khidmat. Tapi, ada satu hal yang menarik perhatian: perjanjian itu dibarengi dengan kesepakatan lain, yaitu kemitraan infrastruktur dan mineral antara AS dan Kongo. Sekilas, ini terlihat seperti mediasi internasional yang patut diacungi jempol. Namun, jika dicermati lebih dalam, ada aroma lain yang tercium. Bukan aroma perdamaian, melainkan aroma sumber daya. Seolah-olah, perdamaian hanyalah bungkusnya, sementara isinya adalah upaya menguasai jalur hidup mineral kritis dunia.
Dengan menggabungkan kedua perjanjian itu, AS menciptakan sebuah ilusi yang nyaris sempurna. Logikanya seakan lurus: Amerika mendatangkan perdamaian, lalu Kongo membalasnya dengan akses pengembangan sumber daya. Tapi, perdamaian di sini bukan tujuan akhir. Ia lebih mirip prasyarat, sebuah kunci yang harus diputar dulu sebelum pintu investasi dibuka lebar-lebar. Tanpa stabilitas, modal besar mustahil masuk dengan aman ke wilayah yang kaya tapi rawan itu.
Sebuah pernyataan dari juru bicara pemerintah Kongo, mungkin tanpa sengaja, membuka kartu. Dia bilang, investasi dari AS hanya akan mengalir jika Rwanda menghentikan dukungannya kepada kelompok pemberontak. Nah, di sini titiknya. Perjanjian damai itu sendiri berubah fungsi menjadi "saklar". Saklar yang mengaktifkan atau mematikan aliran dolar. Posisi AS sebagai duta perdamaian tiba-tiba terasa getir. Mereka seperti memangkas konflik perbatasan yang sudah berlangsung tiga puluh tahun menjadi sekadar alat tawar untuk mendapatkan hak menambang.
Kalau kita tilik klausul-klausul spesifik dalam kerja sama mineral dan infrastruktur, nuansa monopolistiknya kentara sekali. Ambil contoh proyek perpanjangan Rel Lobito, yang nilainya disebut-sebut 1,8 miliar dolar. Tujuan utamanya bukan untuk memperkuat konektivitas dalam negeri Kongo. Tujuannya lebih pragmatis: memudahkan pengangkutan mineral dari pedalaman menuju pelabuhan di Atlantik, lalu langsung ke pasar Barat. Rel ini ibarat pembuluh darah strategis yang ditancapkan ke jantung Afrika, memastikan sumber daya mengalir tanpa hambatan.
Artikel Terkait
Titiek Soeharto Murka, Tunjukkan Video Truk Kayu Melintas Usai Bencana
Sutoyo Abadi: Panggung Sandiwara Politik yang Membius Rakyat
Titiek Soeharto Soroti Hutan Gundul di Balik Bencana Sumatera
Ya Allah... Erangan Lega Usai 7 Jam Bergulat dengan Amukan Banjir Bandang