Tapi jangan terlalu berharap dulu. Metode transplantasi sel punca ini bukan solusi untuk semua orang dengan HIV. Prosedurnya berat, mahal, dan berisiko tinggi. Ini hanya dilakukan pada pasien yang memang sudah harus melawan kanker ganas seperti leukemia. Risikonya tidak sebanding untuk mereka yang HIV-nya terkontrol dengan obat.
Obat HIV modern sendiri sudah sangat efektif. Di negara dengan akses layanan kesehatan baik, pasien bisa hidup panjang dan produktif. Masalahnya, ketergantungan pada obat seumur hidup itu tak mudah. Jika akses terputus misalnya karena krisis atau pemotongan dana risiko berkembang jadi AIDS mengintai.
Itulah mengapa pencarian “penyembuhan” tetap menjadi holy grail dalam riset HIV.
Selain kasus B2, dua studi lain yang dimuat di jurnal Nature juga memberi secercah harapan. Satu studi tentang imunoterapi kombinasi menunjukkan, tujuh dari sepuluh pasien bisa menjaga virus tetap rendah meski berhenti minum obat ARV. Studi lain berusaha memetakan faktor apa saja yang membuat terapi semacam ini bisa lebih efektif ke depannya.
Ada juga laporan tentang pasien yang sembuh meski donornya tak punya mutasi CCR5 Δ32 sama sekali. Semua ini menunjukkan, jalan menuju penyembuhan HIV mungkin lebih beragam dari yang kita duga.
Jadi, apa arti semua ini? Kasus ketujuh ini adalah bukti nyata bahwa penyembuhan HIV itu mungkin. Ia memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, memberi petunjuk baru, sekaligus mengingatkan bahwa masih banyak yang harus kita pelajari. Setiap kesembuhan adalah sebuah keajaiban medis, namun untuk bisa direplikasi secara luas, perjalanannya masih panjang.
Artikel Terkait
Dari Mulut Buaya ke Mulut Kancil: Pergantian Wajah Kekuasaan di Indonesia
Unjuk Rasa Soal Penetapan Tersangka Mantan Lurah Ricuh di Depan PN Sungguminasa
Dua Hari Kelaparan, Warga Aceh Timur Terjebak di Tengah Banjir dan Jalan Putus
Bambu dan Kayu Pulihkan Jalur Vital Tapteng Pasca-Bencana