Pernah ada seorang siswa di kelas saya. Cerdas, tapi selalu terlihat tergesa. Ia membaca dengan kecepatan tinggi, lalu kebingungan saat menjawab pertanyaan sederhana tentang teks itu.
Ketika saya minta ia membaca ulang, dengan ritme yang sengaja diperlambat, hasilnya benar-benar lain. Analisanya berubah total: lebih jernih, runtut, dan terasa lebih matang.
Ternyata, bukan pemahamannya yang lemah. Hanya "waktunya" untuk memahami yang ia rampas sendiri, terbiasa hidup dalam tempo kilat.
Di tengah budaya "skip" dan "scroll" yang merajalela, saya percaya sekolah justru harus jadi tempat untuk memperlambat waktu. Tempat di mana siswa belajar bahwa memahami sesuatu yang kompleks membutuhkan perhatian penuh, bukan sekadar kecepatan. Di sini, paragraf panjang tak perlu dihindari, tapi justru dihayati sebagai latihan membangun pola pikir yang kuat dan tahan lama.
Karena pada akhirnya, hidup tidak menyajikan persoalan dalam kalimat-kalimat pendek. Ia hadir dalam paragraf panjang, penuh detail berbelit, dan seringkali membingungkan. Kalau kemampuan membaca mendalam ini sampai hilang, kita sebenarnya sedang menyiapkan generasi yang tangkas menggulir layar, tapi rapuh saat menghadapi kompleksitas dunia nyata.
Di era ketika jempol bergerak lebih cepat daripada pikiran, mungkin inilah saatnya kita mengingat kembali nilai dari membaca perlahan. Tidak semua hal bisa atau harus dipahami dalam lima detik. Dan masa depan nanti, rasanya tak akan dibangun oleh mereka yang selalu mencari jalan pintas. Melainkan oleh mereka yang mampu bertahan membaca hingga akhir, dan memahaminya dengan utuh.
Artikel Terkait
Mantan Karyawan IMIP Bongkar Modus Sembunyikan Ribuan Pekerja China Saat Sidak
Sindikat Kartu Kredit Internasional Dibekuk di Bali, Suami Artis Korsel Jadi Korban
Tere Liye Soroti Respons Bencana: Rakyat Tak Tahu Terima Kasih atau Pemerintah yang Abai?
Proyek Galian Pesanggrahan Bikin Layanan Transjakarta Koridor 13 Tersendat