Demokrasi di Ujung Tanduk: Akademisi Soroti Pelemahan Institusi dan Ancaman Korupsi

- Rabu, 03 Desember 2025 | 07:50 WIB
Demokrasi di Ujung Tanduk: Akademisi Soroti Pelemahan Institusi dan Ancaman Korupsi

Ia membagi perjalanannya dalam tiga periode: Gus Dur, SBY, dan Jokowi. Masing-masing punya karakter sendiri. Dari 2007 sampai 2019, kemajuan terasa. Kasus-kasus besar ditangani, dukungan publik meluas. Tapi semua berubah di 2019, saat revisi UU KPK disahkan. Sejak itu, ruang geraknya dibatasi. Bukan karena KPK malas, tapi struktur politik yang membelenggu.

Melemahnya KPK bukan cuma merugikan satu lembaga. Tapi seluruh struktur demokrasi dan tata kelola kita. Wijayanto juga menyoroti kebiasaan buruk: mendramatisir kerugian negara. Angka kerugian harus dihitung pakai nilai nyata, bukan estimasi bombastis yang cuma cari sensasi.

katanya memberi contoh.

Ia ambil kasus pengadaan kapal ASDP yang cuma dinilai sebagai besi tua, padahal itu investasi strategis. Metode ngawur seperti ini, menurutnya, bikin pemberantasan korupsi jadi dramatis tapi miskin pemahaman. Makanya, pemerintahan sekarang punya PR besar. KPK perlu dikonsolidasi, hambatan administratif dibersihkan, independensi dikembalikan. Juga perlu metodologi hitung kerugian yang jelas dan ilmiah. Intinya, jangan cuma jadi narasi populer.

tegas Wijayanto menutup paparannya.

Terakhir, Malik Ruslan dari LP3ES mengajak peserta melihat korupsi dari kacamata yang lebih luas. Bukan cuma persoalan hukum, tapi juga moral dan budaya politik. Akarnya panjang sekali. Budaya pemberian, hubungan patron-klien, struktur sosial yang permisif semua ini mengokohkan praktik korupsi. Masyarakat sering anggap memberi hadiah itu wajar, bentuk silaturahmi, bukan gratifikasi. Kebiasaan ini sudah berabad-abad, susah dihapus cuma dengan regulasi.

tutur Malik.

Pertemuan itu pun berakhir. Tapi pertanyaannya masih menggantung: mampukah kita menjaga pilar-pilar itu dari keruntuhan?


Halaman:

Komentar