Dalam waktu kurang dari dua tahun, arah kebijakan resmi pemerintahan Prabowo soal hutan dan sawit berbelok tajam. Awalnya mendorong industri, kini justru menyita jutaan hektar kebun sawit ilegal. Perubahan ini, tentu saja, memicu gelombang kontroversi. Kritik berdatangan dari berbagai LSM dan ilmuwan, mempertanyakan konsistensi, transparansi, dan sebenarnya apa sih prioritas nasional yang utama?
Menengok ke belakang, di pertengahan 2024 saat masa transisi, banyak yang menduga pemerintahan baru akan mengukuhkan sawit sebagai komoditas andalan. Logikanya sederhana: Indonesia adalah raksasa agraris dengan minyak sawit sebagai penyumbang devisa besar. Sawit dianggap pilar ekonomi, bagian dari narasi kedaulatan pangan dan energi. Pendekatan ini dianggap wajar, terutama di tengah tekanan ekonomi global dan ancaman krisis pangan yang melanda di mana-mana.
Tapi, di balik itu semua, ada beban sejarah yang berat. Ekspansi sawit selama puluhan tahun punya catatan kelam: deforestasi masif, hilangnya hutan tropis, dan rusaknya habitat satwa langka. Isu ini seperti bom waktu yang terus berdetak.
Kemudian, muncul pernyataan yang mengguncang.
“Kelapa sawit itu pohon, mereka punya daun,” ujar Prabowo di hadapan publik nasional pada 30 Desember 2024.
Pernyataan singkat itu langsung jadi bensin bagi api kritik. Bagi banyak kalangan, ia terkesan meremehkan kompleksitas masalah. Seolah-olah, selama yang ditanam adalah pohon, maka dampak ekologisnya bisa diabaikan.
Reaksinya cepat dan keras. Lembaga riset seperti CIFOR–ICRAF langsung menegaskan, data empiris menunjukkan korelasi kuat antara ekspansi sawit dengan hilangnya hutan primer dan gambut. Media lingkungan seperti Mongabay menyoroti bahwa menyamakan kebun sawit dengan hutan adalah penyederhanaan yang berbahaya. Sementara bagi aktivis di lapangan, seperti dari WALHI, ini bukan cuma soal salah ucap. Ini soal realitas pahit yang mereka hadapi setiap hari: konflik agraria, kerusakan ekosistem, dan luka komunitas lokal yang tak kunjung sembuh.
Gelombang protes itu ternyata tidak berlalu begitu saja. Ia menumpuk, berasal dari akademisi, aktivis, komunitas adat, hingga media internasional. Inti keberatannya sama: mempromosikan sawit tanpa kontrol ketat hanya akan memperparah kerusakan. Mereka khawatir, di balik jargon “sawit strategis”, justru yang terjadi adalah pelemahan perlindungan lingkungan dan pengabaian hak-hak masyarakat.
Namun begitu, situasi berubah secara dramatis.
Dalam pidato kenegaraannya yang mengejutkan, Prabowo mengumumkan langkah tegas. Pemerintah akan melakukan “crackdown nasional” terhadap eksploitasi sumber daya ilegal, dengan sasaran utama perkebunan sawit di luar hukum.
“Kami menargetkan 3,7 juta hektar perkebunan sawit ilegal untuk ditindak. Verifikasi akan dilakukan hingga mencakup 5 juta hektar,” begitu kira-kira poin penting pidato 15 Agustus 2025 itu.
Artikel Terkait
Dari Medali ke Meja Kantor: Perjalanan Realistis Atlet Disabilitas Surabaya
Dari Tawuran ke Lapangan Hijau: Kisah Angga yang Bangkit Setelah Amputasi
WALHI Tuding Tujuh Perusahaan Picu Banjir Bandang Tapanuli
Kejujuran sebagai Fondasi: Menyulut Kemandirian Indonesia dari Karakter Bangsa