Negara punya kewenangan untuk memungut dana dari rakyat yang mampu. Pungutan itu harus dilakukan sampai masalah bencana tuntas. Soalnya, dalam situasi darurat seperti ini, kewajiban menolong sesama sebenarnya sudah menjadi beban seluruh kaum Muslim.
Negara harus bergerak cepat menghimpun dana. Kalau menunggu pengumpulan uang dikhawatirkan justru memperparah keadaan, negara boleh saja mengambil pinjaman dulu. Nanti, utang itu dilunasi dari dana yang berhasil dikumpulkan dari masyarakat.
Di sisi lain, ada hal menarik dalam perspektif fiqh Islam. Sistem ini tak mengenal pemilahan kaku antara "bencana nasional" dan "bencana daerah". Artinya, pemerintah pusat tak bisa begitu saja cuci tangan hanya karena status bencana tak dinaikkan ke level nasional, sementara penderitaan rakyat nyata adanya.
Nah, melihat kerangka ini, kebijakan pemerintah Prabowo yang menolak menetapkan bencana di Sumatra sebagai bencana nasional patut dipertanyakan. Imbasnya jelas: beban penanganan seolah-olah dibebankan sepenuhnya ke daerah. Dalam pandangan fiqh, langkah seperti ini bisa dibilang bathil, alias tak punya dasar yang kuat.
Begitulah kira-kira gambaran sederhana bagaimana Khilafah Islam mengatur pembiayaan penanganan bencana. Jelas, tegas, dan berorientasi pada penyelamatan nyawa tanpa banyak birokrasi.
(")
Artikel Terkait
Pelukan Terakhir Ibu dan Anak, Duka yang Menyayat Hati di Tengah Bencana Sumatera
Banjir Sumatera dan Topeng Senyum di Balik Hutan yang Tergerus
Wagub Kalbar Dukung Jalan Sungai Raya Dalam Jadi Satu Arah
Gaji Tak Naik, Biaya Melambung: Solusi Penghasilan Kedua dari Aset Riil