EDITORIAL JAKARTASATU: Selamatkan Bangsa dari Eksploitasi Gaya Baru. Kita Sudah Bangsa Merdeka
Kita ini bangsa besar. Kekayaan alamnya melimpah ruah, potensi manusianya luar biasa. Sudah merdeka, tentu saja. Tapi coba lihat lebih dalam. Di balik gemah ripah loh jinawi itu, masih ada kenyataan yang pahit: banyak rakyat kita yang hidupnya terpinggirkan. Mereka kehilangan hak atas kesejahteraan yang justru dijamin oleh konstitusi kita sendiri. Ironis, bukan? Inilah yang membuat kita harus segera membangun kekuatan kebaikan. Ancaman nyatanya ada di depan mata, salah satunya adalah mentalitas penjilat yang perlahan-lahan menggerogoti moral bangsa.
Memang, penjajahan fisik sudah berakhir. Tapi jangan salah, bentuk penjajahan baru masih bercokol. Siapa yang menikmati aliran kekayaan alam kita? Seringkali, bukan rakyat biasa. Sumber daya digali habis-habisan, tapi masyarakat di sekitarnya? Tetap miskin. Ada ironi besar di sini: negara kaya, rakyatnya susah memenuhi kebutuhan paling dasar.
UUD kita sudah jelas bunyinya: kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. Tapi pasal-pasal itu kadang hanya jadi tulisan mati. Implementasinya kalah oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Kita mungkin tidak lagi melihat serdadu asing, tapi kita masih berperang dengan sistem yang timpang. Keputusan-keputusan yang lebih memihak pemilik modal ketimbang wong cilik.
Nah, di sinilah masalah mentalitas penjilat muncul sebagai persoalan serius. Mereka ini terlihat bekerja untuk bangsa, padahal motifnya cuma satu: keuntungan pribadi. Mendekat ke kekuasaan bukan untuk memperjuangkan rakyat, tapi untuk ambisi dan kenyamanan diri sendiri. Mentalitas busuk ini bisa hinggap pada siapa saja pejabat, birokrat, bahkan aktor di luar pemerintahan. Mereka rela mengorbankan kepentingan bangsa yang luas demi kepentingan mereka yang sempit.
"
Mereka ingin dilihat setia pada negara. Padahal, kesetiaannya hanya pada kekuasaan yang sedang berjaya. Di mulut mengamini Pancasila, dalam tindakan mengingkari prinsip keadilan sosial. Jabatan cuma jadi tangga menuju privilege, bukan sarana pelayanan. Kalau mentalitas seperti ini dibiarkan subur, bangsa sebesar apa pun bisa runtuh dari dalam.
Rakyat Sebagai Pusat Negara
Pancasila sudah menegaskannya: keadilan, persatuan, kemanusiaan. UUD 1945 juga menyatakan dengan gamblang, pemerintah punya tanggung jawab melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Ini bukan sekadar kalimat indah. Ini amanah yang harus hidup dalam setiap kebijakan.
Negara wajib berpihak pada yang lemah. Pekerja berhak dapat upah layak dan perlindungan. Petani dan nelayan harus merasakan manfaat dari tanah dan laut yang mereka rawat. Anak-anak berhak atas pendidikan dan kesehatan yang merata. Baru ketika rakyat jadi pusatnya, pembangunan bisa disebut sebagai kemajuan yang sesungguhnya. Bukan cuma deretan angka di laporan ekonomi.
Lalu, bagaimana caranya membangun kekuatan kebaikan itu? Ini bukan slogan kosong. Kekuatan kebaikan berakar dari kejujuran, tanggung jawab, dan nyali untuk mengutamakan bangsa. Beberapa langkah bisa jadi fondasi perubahan.
Pertama, soal moralitas pemimpin. Pemimpin yang baik itu bukan yang pandai beretorika. Tapi yang mampu menjaga integritas, menolak korupsi dan nepotisme. Mereka harus jadi teladan bahwa kekuasaan itu amanah, bukan hak.
Artikel Terkait
Ridwan Kamil: Saya Senang Akhirnya Diperiksa KPK
Dari Magang ke Sidang: Fitrah Nusantara Bongkar Kode Rahasia Pengacara
Kepala Lapas Dicopot Usai Paksa Tahanan Muslim Makan Daging Anjing
Bencana Sumatera: Korban Tewas Tembus 753, Ratusan Masih Hilang