Senyar melakukan pendaratan di Aceh dan Malaysia. Kerusakannya begitu masif hingga Gubernur Aceh, Mualem, menyamakannya dengan “tsunami kedua”.
Pernyataan yang menyentuh memori pilu akan gelombang raksasa yang meluluhlantakkan daerah itu dua dekade silam.
Kekuatannya mulai mereda pada 28 November 2025. Statusnya turun menjadi Ex-Siklon Tropis Senyar. Sisa-sisa energinya bergerak ke Laut China Selatan, dengan kekhawatiran ia akan bangkit kembali di wilayah otoritas Jepang. Jika itu terjadi, namanya akan berubah menjadi Nokaen.
Meski sudah punah, jejaknya masih terasa. Hujan deras masih mengguyur Sumatera hingga awal Desember, mengingatkan semua orang pada trauma yang baru saja terjadi.
BMKG membandingkan keganasan Senyar dengan Siklon Seroja di NTT pada 2021. Seroja menewaskan 183 orang. Namun, Senyar jelas lebih dahsyat.
Nama Seroja sendiri adalah sumbangan Indonesia, karena siklon itu terbentuk di wilayah tanggung jawab BMKG. Badai itu juga merenggut puluhan nyawa di Timor Leste dan Australia.
Sebelum Senyar, tahun 2024 juga punya cerita buruk. Topan Yagi, yang namanya diberikan otoritas Jepang, menerjang Myanmar, Filipina, dan Vietnam. Korban jiwa akibat Yagi diperkirakan antara 844 hingga lebih dari seribu orang.
Rentetan bencana ini seperti pengingat: alam selalu punya cara untuk mengejutkan kita. Dan seringkali, kejutan itu berwujud duka.
Artikel Terkait
Aslan, Anjing Pelacak yang Menemukan Harapan di Tengah Reruntuhan Tapanuli
Truk Raksasa di Muara Enim Picu Aksi Massal, SIRA Tuntut Gubernur Bertindak
Duka dan Harapan di Sumatera: Alumni Akpol 2005 Kirim Ribuan Paket untuk Korban Bencana
Prabowo Tinjau Pengungsian Pandan, Serukan Solidaritas sebagai Kunci Pulihkan Korban Banjir Bandang