Sementara itu, di ujung barat laut Nigeria, teror serupa terjadi. Menurut sejumlah saksi, Desa Chacho di Negara Bagian Sokoto diserbu pada Sabtu malam. Aksi itu berlangsung hingga Minggu pagi, dan 14 orang berhasil dibawa kabur. Yang menyayat hati, di antara korban ada seorang pengantin beserta sepuluh bridesmaid-nya. Bayangkan, momen bahagia itu berubah jadi mimpi buruk.
Ini bukan cerita baru. Penculikan untuk tebusan sudah seperti epidemi di Nigeria, menyebar ke hampir semua wilayah. Polisi menyebut pelakunya sebagai ‘bandit’, sebuah istilah yang mencakup kelompok kriminal lokal hingga elemen ekstremis. Motifnya jelas: uang.
Namun begitu, dampaknya jauh lebih dalam. Rangkaian serangan terbaru ini terjadi kurang dari seminggu setelah Presiden Bola Tinubu mendeklarasikan kondisi darurat. Situasi ini jelas jadi ujian berat bagi pemerintahannya.
Di sisi lain, gelombang kekerasan ini juga menarik perhatian dunia. Presiden Amerika Serikat Donald Trump, misalnya, pernah menyoroti khusus penculikan terhadap umat Kristen di Nigeria. Ia bahkan pernah mengancam akan meluncurkan operasi darat jika aksi itu terus berlanjut. Ancaman itu mungkin terdengar ekstrem, tapi itu menunjukkan betapa runyamnya masalah keamanan di Nigeria.
Kini, yang tersisa adalah kecemasan dan tanda tanya besar. Kapan semua ini akan berakhir? Warga di pelosok hidup dalam ketakutan, sementara otoritas berusaha mengejar waktu untuk menyelamatkan nyawa-nyawa yang masih hilang.
Artikel Terkait
Nikel Maluku Utara: Kedaulatan dan Laut yang Tergerus di Balik Kilau Investasi
Mencekam di Yahukimo: Dua Pencari Gaharu Tewas Diserang OTK di Camp Pedalaman
Duka di Balik Gemerlap: Puluhan WNI Masih Hilang Usai Kebakaran Maut di Hong Kong
Sumsel Bernapas Lega di Tengah Banjir Sumatera, Ini Kunci Menurut Gubernur