Pemilu Myanmar bulan depan dinilai tidak akan berjalan bebas dan kredibel. Pernyataan tegas ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Thailand, Sihasak Phuangketkeow. Pemilu yang akan digelar pertama kalinya pasca-kudeta militer 2021 itu, menurutnya, tidak memenuhi standar demokrasi yang seharusnya.
“Kami menginginkan pemilu yang bebas dan kredibel, tapi itu tidak akan terjadi, kami tahu itu,” ujar Sihasak, seperti dilaporkan AFP, Rabu (26/11).
“Kami tidak akan mengakui pemilu itu,” tegasnya lagi.
Meski begitu, ia tak sepenuhnya menutup mata. Menurutnya, pemilu yang tak sempurna ini bisa jadi batu loncatan. Ia mengingatkan pada pemilu 2010 yang juga penuh kontroversi. Saat itu Jenderal Thein Sein terpilih sebagai presiden, namun kemudian membebaskan Aung San Suu Kyi. Langkah itu membuka jalan bagi kemenangan besar partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), pada 2015.
“Mungkin pemilu yang tak sempurna juga bisa jadi kesempatan yang baik untuk mengembalikan stabilitas dan demokrasi negara,” katanya.
Di sisi lain, situasinya memang tak sederhana. Junta militer Myanmar sendiri menyebut pemilu ini sebagai momen rekonsiliasi. Tapi faktanya, Aung San Suu Kyi dan partainya, NLD yang sudah dibubarkan, sama sekali tidak dilibatkan. Pemilu juga tidak akan digelar di wilayah-wilayah yang tidak dikuasai militer atau sekutunya. Banyak analis melihat ini sebagai taktik untuk menutupi keberlanjutan pemerintahan militer.
Artikel Terkait
Sekadau Perkuat Kolaborasi Lahan dan Hutan untuk Kepastian Hukum
Kemenkum Kalbar Perkuat Perencanaan Anggaran Lewat RPATA
Nusron Wahid Soroti Ketimpangan Lahan: Korporasi Kuasai 48 Persen HGU dan HGB
Ranperda Koperasi dan UMKM Sintang Disempurnakan untuk Dongkrak Ekonomi Lokal