DPR pun bergerak. Melalui Komisi Hukum, mereka membuat kajian mendalam. Kajian ini melibatkan pakar hukum dan mengupas tuntas aspek prosedural, otoritas perusahaan, hingga kemungkinan maladministrasi. Hasilnya disampaikan ke pemerintah, membuka peluang untuk usulan rehabilitasi.
Kejutan dari Istana
Puncaknya terjadi pada 25 November 2025. Presiden Prabowo Subianto menandatangani surat rehabilitasi untuk Ira Puspadewi dan dua mantan direktur ASDP lainnya.
Mensesneg Prasetyo Hadi menjelaskan, proses pemberian rehabilitasi ini melibatkan telaah dari banyak pihak: DPR, Kementerian Hukum, pakar hukum, dan pakar etika. Ini adalah hak prerogatif presiden, katanya, yang menunjukkan ada pertimbangan di luar ranah pidana semata.
Di sisi lain, pengacara Ira, Soesilo Aribowo, menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam.
“Saya berterima kasih setinggi-tingginya kepada Bapak Presiden Prabowo yang menggunakan hak prerogatifnya membebaskan Ibu Ira,” ujarnya.
Namun, dia juga mengaku kaget. Pihaknya tidak pernah mengajukan permohonan rehabilitasi secara resmi. “Kami hanya konsentrasi di proses hukum … kami tahunya dari pemberitaan,” tuturnya.
Di Persimpangan Hukum dan Politik
Kasus Ira Puspadewi ini seperti cermin. Di satu sisi, KPK bersikukuh dengan tuduhan korupsi dan kerugian negara yang besar. Di sisi lain, desakan publik dan kajian DPR membuka jalan bagi pemulihan nama baik lewat rehabilitasi.
Keputusan presiden ini bukan sekadar hadiah politik. Ini menunjukkan bahwa aspirasi rakyat, jika disalurkan lewat mekanisme formal seperti DPR, bisa sampai ke meja eksekutif. Tapi, tetap muncul pertanyaan: apakah ini menciptakan preseden buruk, di mana vonis pidana bisa “dihapus” oleh keputusan politik, bukan lewat jalur banding atau kasasi?
Bagi Ira, ini tentang pemulihan martabat. Bagi DPR, bukti bahwa mereka bisa menyalurkan aspirasi. Bagi presiden, ini wujud hak prerogatif dalam menilai ulang putusan pengadilan.
Penutup: Dua Sisi Koin
Perjalanan Ira Puspadewi adalah sebuah narasi panjang. Dari ruang penyidikan KPK, ke meja hijau pengadilan, lalu berakhir di istana. Ini bukan cuma soal korupsi di BUMN. Ini tentang kekuatan pengawasan publik, peran DPR, dan bagaimana kekuasaan eksekutif bisa memakai instrumen rehabilitasi untuk memulihkan kehormatan seseorang.
Vonis penjara mungkin mengakhiri babak pertama. Tapi surat rehabilitasi membuka babak baru. Dalam sistem hukum-politik Indonesia, rupanya “hukuman” dan “pemulihan” bisa berjalan beriringan tak melulu lewat pengadilan, tapi juga lewat koridor kekuasaan.[]
Dosen di Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatera Barat.
Artikel Terkait
Program MBG Ringankan Beban Ibu, Anak pun Semangat ke Sekolah
Analis: Sikap Anti-Ikhwanul Muslimin Berisiko Sejajarkan Diri dengan Barisan Kafir
Tiga Nyawa Melayang dalam Kobaran Api di Ruko Bantaeng
Jimly Sampaikan Buku Amandemen ke Zulhas, Bahas Reformasi Polri hingga Dukungan PAN