Di kehidupan nyata, Toni bukan nama sebenarnya cuma mahasiswa biasa. Hobinya main game, terutama yang bertema sejarah, sandbox, atau perang-perangan. Tapi begitu masuk ke akun Facebook-nya, kita langsung disuguhi sisi lain yang cukup gelap dari dunia maya.
Ia aktif di sebuah grup terbuka dengan anggota lebih dari 20 ribu akun. Di sana, Toni sering membagikan meme bertema "Jihadis-Ngisis" istilah plesetan untuk konten yang menampilkan atribut teror atau kombatan Timur Tengah, tapi dibungkus dengan bumbu humor.
Salah satu meme buatannya menampilkan adegan dari drama Korea Familiar Wife (2018), di mana Ji Sung dan Han Ji-min berbagi earphone di dalam bus. Tapi alih-alih lagu romantis, yang didengarkan justru nasyid dengan lirik:
Ke mana perginya para lelaki…
Yang akan memenuhi seruan Ilahi
Di mana jiwa para pemuda berani…
Menjual diri untuk syurga yang abadi...
Di tengah lagu, tiba-tiba terdengar pekikan "Allahu Akbar" disusul suara tembakan senapan yang dibunyikan secara burst. Meme serupa juga banyak beredar di grup itu. Misalnya video orang-orang berbaju kombatan mengibarkan bendera hitam bertulisan Arab "Lailahaillallah", sambil latihan militer, tapi diiringi lagu tema acara TV "Si Bolang".
Bagi Toni, semua ini cuma lelucon ironi atau dark joke belaka. Ia mengenal format meme seperti ini sejak SMA, dari teman-temannya yang juga suka bikin konten serupa. Menurutnya, ini bukan bentuk dukungan terhadap ideologi kekerasan.
"Meme ironi itu ketika sesuatu terjadi justru bertolak belakang dengan harapan," jelas Toni.
Ia menegaskan, meme jihadis justru jadi cara menolak gerakan ekstrem lewat satir. Bahkan, sering dipakai untuk mengolok-olok ideologi itu sendiri.
Toni merasa kebal, tidak terpengaruh, apalagi sampai menormalisasi kekerasan. Tapi batas antara guyonan dan kenyataan ternyata tidak sama bagi semua orang.
Di grup yang sama, Joni juga nama samaran mengaku punya teman yang simpatisan. Video mentah para kombatan yang dipakai untuk bahan meme, katanya, didapat dari temannya itu. Sumbernya dari web Daesh (ISIS) yang sekarang sudah sulit diakses.
Pengakuan ini membuktikan bahwa materi propaganda teroris masih berkeliaran dengan bebas. Bercampur dengan candaan, dikonsumsi oleh yang sekadar iseng, sampai yang mungkin sudah terpapar lebih dalam. Situasi ini tentu mengkhawatirkan, termasuk bagi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Apa yang dianggap lelucon oleh sebagian orang, justru dilihat oleh Kepala BNPT Komjen Pol (Purn.) Eddy Hartono sebagai bentuk memetic radicalization atau memetic violence yang merasuk ke ruang digital.
Fenomena anak muda terpapar terorisme lewat dunia digital mencuat setelah Densus 88 Antiteror meringkus lima tersangka yang diduga melakukan upaya rekrutmen anak ke jaringan terorisme. Mereka ditangkap di berbagai daerah, mulai Sulawesi, Sumatra, hingga Jawa Tengah.
Kelimanya diduga anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Mereka disebut telah menjerat 110 anak, salah satunya lewat game online. Modusnya adalah digital grooming memainkan psikologi anak untuk menarik mereka ke dalam konten kekerasan dan terorisme.
Penangkapan ini merupakan hasil pemantauan tiga tahun oleh BNPT bersama Densus 88 dan lembaga terkait. Dari situ, terungkap modus baru indoktrinasi lewat pendekatan emosional.
Untuk memahami lebih dalam soal grooming digital dan cara orang tua melindungi anak dari paham kekerasan, berikut wawancara dengan Kepala BNPT Komjen Pol (Purn.) Eddy Hartono:
Game online disebut jadi medium baru penyebaran paham radikalisme. Bagaimana proses perekrutannya? Grooming digitalnya seperti apa?
Game online kan pada dasarnya simulasi. Bisa tentang kekerasan atau perang-perangan. Di dalamnya ada fitur chat, voice, atau private chat. Di situlah pemain bisa berkomunikasi.
Nah, sambil main, pelaku mulai mendekati. Mereka ngobrol, bertukar pikiran, pelan-pelan membangun kedekatan dan kepercayaan. Prosesnya enggak instan, butuh beberapa kali interaksi lewat chat game.
Setelah rasa percaya terbentuk, mereka diajak keluar dari game. Dipindahkan ke platform media sosial seperti Telegram atau WhatsApp.
Di grup baru itulah terjadi normalisasi perilaku. Dari sekadar ngobrol game, pelan-pelan disisipkan curhatan. Pelaku pura-pura sebaya, pakai bahasa gaul, sampai membahas masalah di sekolah atau keluarga.
Artikel Terkait
Bakamla RI dan Penjaga Pantai Yunani Perkuat Kolaborasi Keamanan Maritim
Kaukus Perempuan Parlemen Dikukuhkan, Targetkan 30% Kepemimpinan Strategis
BRIN Siapkan Rumah Riset untuk Talenta Muda Lulusan SMA Garuda
Percakapan Digital Buktikan Balas Dendam di Balik Penculikan Alvaro