Awan sore itu seperti ragu-ragu, enggan menumpahkan isinya di atas tanah Desa Pendem. Langit perlahan berubah warna, semburat jingga yang hangat mulai merambat, menciptakan suasana yang syahdu sekaligus menenangkan. Angin perbukitan berhembus dingin, menyambut kedatangan kami rombongan mahasiswa dari Surakarta. Perjalanan yang kami tempuh sekitar 45 menit itu akhirnya berakhir juga.
Sepanjang jalan, langit kelabu seolah mengintai. Kami terus berdoa dalam hati, jangan sampai hujan turun sebelum kami tiba. Dan syukurlah, doa itu dikabulkan. Saat kaki menginjak desa ini, yang menyambut adalah panorama senja yang memesona, tanpa setetes hujan pun.
Rumah posko tempat kami akan menginap selama tiga hari ke depan sudah terlihat rapi. Sore itu, 14 November 2025, semuanya tampak siap menampung lima puluh mahasiswa UNS yang hendak melakukan pengabdian masyarakat. Sambil menunggu arahan lebih lanjut, kami duduk-duduk di teras, tas masih berserakan, sambil bercakap-cakap ringan.
Tak lama kemudian, Nafara berseru, suaranya sedikit ditinggikan agar terdengar semua.
“Ayo kumpul dulu ke ruang tengah buat pembagian kamar! Habis itu bisa lanjut kumpul sama kelompok visit UMKM.”
Aku dapat kamar nomor 5. Isinya enam orang, termasuk aku. Ukurannya tak terlalu besar, cukup sempit untuk enam mahasiswa. Bagaimana cara mengatur posisi tidur? Ah, itu urusan nanti, ketika malam tiba.
Setelah barang-barang ditata, kami segera berkumpul lagi di teras untuk briefing kunjungan UMKM. Kami dibagi tiga kelompok. Satu ke pengusaha keripik, satu ke pembuat jamu, satu lagi ke perajin batik. Aku masuk kelompok dua, yang akan mengunjungi UMKM keripik.
Lokasinya ternyata tak jauh. Hanya sekitar dua ratus meter dari posko, persis di seberang jalan.
“Sebelum ke tempatnya, aku absen dulu, ya,” ujar Albert, penanggung jawab kegiatan.
Setelah semua dipastikan hadir, kami berjalan beriringan. Saat tiba di depan rumah, pintunya agak terbuka. Salah seorang dari kami mengetuk pelan. Seorang wanita berhijab, kira-kira usia tiga puluhan, muncul. Tanpa banyak tanya, ia langsung mempersilakan kami masuk. Rupanya, dia sudah tahu maksud kedatangan kami.
Ia mengajak kami duduk di ruang tengah. Tapi sebelum sempat mengambil tempat, seorang bapak paruh baya muncul dan mengajak sebagian dari kami langsung ke dapur. “Mau lihat proses bikin keripiknya? Ayo, ke belakang saja,” katanya ramah. Bapak itu ternyata suami dari ibu tadi.
Artikel Terkait
Resolusi PBB 2803: Karpet Merah untuk Kolonialisasi Gaza
Peng Xiao Ran, dari Suara Presenter Menjadi Jiwa Karakter yang Memukau
Ribuan Pelajar Serukan RukunSamaTeman di CFD, Langkah Awal Perangi Perundungan
Antusias Warga DKI Berebut Kartu Gratis Transjakarta di CFD Bundaran HI