Republik yang Tak Pernah Benar-Benar Merdeka: Sebuah Pengantar
Secara formal, Indonesia memang sudah merdeka sejak 1945. Tapi kalau kita lihat lebih dalam, secara struktural sebenarnya belum. Kenapa? Karena negara ini masih terjebak dalam continuity kolonialisme yang nyata. Coba perhatikan: birokrasinya masih warisan Belanda, ekonominya dikuasai segelintir konglomerat dan modal asing, sementara elit politiknya sibuk menjaga kursi kekuasaan ketimbang memikirkan martabat bangsa.
Dalam studi negara-bangsa, kondisi seperti ini disebut post-colonial dependency trap – istilah yang dipopulerkan Prasenjit Duara pada 2011. Intinya, ini semacam jebakan di mana elite lokal menggantikan penjajah lama, tapi tetap mempertahankan pola yang sama. Bedanya cuma di kemasan: jargon nasionalisme baru dan bendera baru, tapi prakteknya tak jauh beda.
Singkatnya: penjajahnya berganti, pola penjarahannya tetap sama.
Negara sebagai Operator Ketergantungan
Ada tiga teori utama yang bisa menjelaskan fenomena ini. Pertama, Teori Ketergantungan ala Andre Gunder Frank dan Samir Amin. Menurut mereka, negara dunia ketiga miskin bukan karena kurang sumber daya, tapi karena elite sengaja menciptakan struktur ketergantungan pada asing. Tujuannya jelas: agar aliran rente terus mengalir ke kantong mereka.
Kedua, Teori Oligarki Material dari Jeffrey Winters. Indonesia bukan sekadar demokrasi elektoral biasa, melainkan oligarki yang dibungkus ritual demokrasi. Rakyat sibuk memilih, elite yang menentukan. Rakyat berdebat, oligarki malah bertransaksi. Hasilnya? Rakyat tetap miskin, sementara elite makin kaya – bahkan ketika negara dalam kondisi terpuruk sekalipun.
Yang ketiga, konsep Patronase dan Clientelism. Kekuasaan dijalankan bukan melalui kapasitas negara yang sehat, tapi lewat jaringan patron-makelar yang rumit. Makanya kebijakan publik sering mandek. Sebab yang diprioritaskan bukan kesejahteraan rakyat, melainkan "keamanan aset politik" para elite.
Mengapa Negara Tak Berniat Membangun Kemandirian?
Pertanyaan besarnya: mengapa negara seolah tak punya niat baik membangun kemandirian nasional? Setidaknya ada tiga alasan mendasar.
Pertama, kemandirian berarti rakyat menjadi kuat – dan ini justru berbahaya bagi elite. Bayangkan jika rakyat cerdas, mandiri, dan sejahtera. Mereka pasti akan menolak manipulasi politik. Ancaman bagi kekuasaan, bukan?
Kedua, ketergantungan itu sendiri adalah ladang rente yang menggiurkan. Impor pangan menguntungkan kartel. Ketergantungan energi memberi keuntungan bagi korporasi besar. Defisit industri menguntungkan importir. Sementara utang luar negeri jadi sumber rezeki bagi broker politik. Kemandirian nasional justru akan mematikan sumber penghasilan mereka. Siapa yang mau kehilangan ATM pribadi?
Ketiga, elite politik kita lebih nyaman menjadi "broker global" daripada pemimpin nasional sejati. Dalam ekonomi politik global, ada dua tipe elite: nation-builder dan komprador. Sayangnya, Indonesia lebih sering melahirkan yang kedua – para pelaksana kepentingan asing.
Kerusakan Sistemik yang Disengaja
Lalu mengapa kerusakan sistemik dibiarkan merajalela? Jawabannya sederhana: karena kerusakan sistem adalah infrastruktur kekuasaan itu sendiri. Sistem yang rusak menciptakan ruang abu-abu yang luas – tempat dimana rente politik bisa tumbuh subur.
Mari kita telusuri lini-lini kerusakan yang dimaksud.
Pendidikan sengaja dibiarkan bermutu rendah. Rakyat yang kurang pendidikan akan sulit berpikir kritis. Dan rakyat yang tidak kritis adalah pasar politik yang mudah dijadikan komoditas.
Artikel Terkait
Singkawang Pacu Legalitas UMKM Lewat Layanan Perseroan Perorangan
Rapat Syuriyah PBNU Soroti Langkah Gus Yahya Undang Pembicara Terafiliasi Zionis
Dibalik Kematian Dosen Untag, Terkuak Hubungan Rumit dengan Perwira Polisi
Paus Leo XIV Ingatkan Pelajar AS: Jandalkan Otak, Bukan AI, untuk PR