Masa Depan Indonesia Kini Ada di Tangan Prabowo, Bukan Lagi Jokowi
Beberapa waktu lalu, ada pendengar radio yang bertanya kepada saya, "Kok Tony Rosyid sekarang tidak lagi benci Jokowi?" Pertanyaan ini sebenarnya keliru. Bahkan, agak konyol. Sejak dulu, saya tidak pernah membenci Jokowi. Kalau kritik saya tajam dan keras terhadapnya, itu semata menjalankan tugas sebagai warga negara. Kita tidak boleh membiarkan kedzaliman terjadi dalam mengelola bangsa. Tugas rakyat adalah mengingatkan penguasa ketika rute perjalanan bangsa dinilai menyimpang dari cita-cita kemerdekaan. Dan saat itu, penguasanya bernama Jokowi.
Tapi sekarang? Jokowi sudah menjadi masa lalu. Panggung kekuasaan telah beralih. Penguasa saat ini adalah Prabowo. Artinya, nasib dan masa depan Indonesia sangat bergantung pada keputusan, kebijakan, dan cara Prabowo mengelola negeri ini. Bukan lagi pada Jokowi.
Di sisi lain, wajar saja kalau masih ada yang mengejar-ngejar Jokowi dan meminta pertanggungjawaban atas sepuluh tahun kepemimpinannya. Ini penting sebagai pelajaran bagi pemimpin berikutnya—siapapun itu—untuk berbuat yang terbaik bagi rakyat dan menghindari kebijakan yang berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum di kemudian hari. Biasanya, penguasa sering lupa bahwa kekuasaannya akan berakhir. Mereka lupa bahwa setelah lima atau sepuluh tahun, mereka harus menghadapi rakyat yang mungkin dikecewakan. Begitulah siklus politik dalam sejarah.
Kita lihat contoh Soekarno. Setelah memproklamasikan kemerdekaan di tahun 1945, namanya harum. Semua rakyat memujanya. Tapi tahun 1965, dia mendapat protes hampir seluruh rakyat dan akhirnya jatuh di tahun 1967. Kasus G-30S-PKI dan krisis ekonomi memaksa rakyat menghujat dan menjatuhkannya.
Lalu ada Soeharto. Tahun 1965-1967, dia tampil sebagai pahlawan dan harapan baru. Rakyat mengelu-elukannya ketika diangkat jadi presiden tahun 1967. Tapi apa yang terjadi kemudian? Rakyat kecewa dengan kepemimpinan yang dianggap represif dan sarat KKN. Tahun 1998, Soeharto dijatuhkan. Semua menghujat, menuntutnya diadili.
Era reformasi pun datang dengan euforia. Rakyat menatap Indonesia baru dengan penuh harap. Tapi ternyata, KKN di era ini justru lebih parah dari Orde Baru. Kaum elit berpesta pora menjarah uang dan aset negara. Mereka merampok secara terstruktur, sistemik, masif—bahkan berjama'ah. Hingga kemudian muncullah Jokowi di tahun 2014. Seorang tokoh dari bawah, wong ndeso, yang diharapkan mampu memperbaiki nasib wong cilik.
Tapi harapan itu mengecewakan. Sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi penuh konflik. Hingga akhirnya kekuasaannya berakhir dan diserahkan kepada Prabowo yang telah disiapkannya. Sebagai orang yang dimenangkan Jokowi, Prabowo tentu tidak mau—dan mungkin tidak mampu—bertanggung jawab atas dosa-dosa Jokowi. Sebaliknya, dia akan fokus bekerja untuk menyelamatkan kekuasaannya sendiri. Prabowo ingin menulis sejarahnya sendiri, lepas dari bayang-bayang Jokowi. Sayangnya, hal ini masih kurang dipahami publik.
Artikel Terkait
Belajar di Atas Lantai Kayu yang Rapuh, Kisah 23 Siswa di Ujung Pandeglang
Setelah 20 Tahun Terendam, Karangligar Akhirnya Dapat Solusi Rp 400 Miliar
Jatim Siaga 10 Hari, Cuaca Ekstrem Ancam 30 Wilayah
Setelah 9 Jam Diperiksa, Halim Kalla Keluar dari Bareskrim Terkait Kasus Korupsi PLTU Kalbar