Bivitri melihat situasi ini memang sulit berubah. Pasalnya, mereka yang berkuasa dan membuat kebijakan justru diuntungkan oleh keadaan yang ada. "Hampir semua partai politik, ketua umumnya atau petingginya duduk di kabinet. Akibatnya, kita seolah kehilangan sekutu di kancah politik. Kalau pun ada yang mendekat, kita cuma dimanfaatkan, bukan dianggap mitra sejati," tegasnya.
Tak cuma soal politik praktis, ia juga menyoroti isu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang baru saja disahkan pagi tadi. Bivitri menduga, ujung-ujungnya ini soal perebutan sumber daya ekonomi. "Coba lacak saja, siapa yang berdiri di balik kepolisian, siapa yang membekingi kejaksaan. Intinya ya perebutan duit, berebut cuan," ungkapnya blak-blakan.
Di tengah situasi yang suram itu, Bivitri masih melihat secercah harapan. Menurutnya, solusinya terletak pada upaya menghubungkan titik-titik gerakan sosial yang tersebar. Ia menyebut ada kolektif anak muda, kelompok baca, atau acara nonton bareng yang sebenarnya mirip dengan "kelompok studi" era 90-an. Mereka inilah yang sedang tumbuh, dan mungkin saja menjadi penyeimbang di masa depan.
Artikel Terkait
Belajar di Atas Lantai Kayu yang Rapuh, Kisah 23 Siswa di Ujung Pandeglang
Setelah 20 Tahun Terendam, Karangligar Akhirnya Dapat Solusi Rp 400 Miliar
Jatim Siaga 10 Hari, Cuaca Ekstrem Ancam 30 Wilayah
Setelah 9 Jam Diperiksa, Halim Kalla Keluar dari Bareskrim Terkait Kasus Korupsi PLTU Kalbar