Mengejar Work-Life Balance Justru Bikin Hidup Tak Bahagia?

- Kamis, 20 November 2025 | 07:06 WIB
Mengejar Work-Life Balance Justru Bikin Hidup Tak Bahagia?

Kita semua pasti pernah mendengar soal pentingnya work-life balance. Konon, itu adalah resep ampuh untuk kesehatan mental. Intinya sederhana: bagi waktu dengan adil antara kerja dan hidup pribadi. Kerja secukupnya, luangkan waktu untuk keluarga, jaga kesehatan, dan sempatkan hobi. Tapi, benarkah semudah itu?

Nyatanya, hidup ini penuh tekanan. Ironisnya, justru ketika kita mati-matian mengejar keseimbangan hidup, rasa bahagia itu malah menjauh. Alih-alih tenang, kita malah sibuk mengukur-ukur: "Sudah seimbangkah hidup saya hari ini?"

Fenomena ini mengingatkan pada sebuah paradoks yang cukup terkenal, paradox of hedonism. Filsuf Henry Sidgwick pernah membahasnya. Intinya, semakin keras kita berusaha mengejar kebahagiaan secara langsung, semakin sulit kita meraihnya. Kebahagiaan itu seringkali muncul begitu saja, sebagai efek samping dari aktivitas yang kita anggap bermakna. Jadi, kalau kita terlalu fokus pada hasil, ya prosesnya jadi nggak nikmat.

Nah, dalam konteks kerja, hal serupa bisa terjadi. Saat kita mengangkat work-life balance sebagai tujuan utama, tanpa sadar kita malah kehilangan esensi dari bekerja itu sendiri. Kita jadi terobsesi pada bentuk, bukan isi. Jam kerja dihitung, jam istirahat dipantau, waktu keluarga dicatat. Hidup seolah-olah harus seperti timbangan yang selalu pas.

Padahal, coba kita lihat lagi. Hidup ini dinamis, nggak pernah statis. Kadang pekerjaan lagi menuntut banyak energi. Di lain waktu, keluarga yang butuh perhatian lebih. Atau, mungkin diri sendiri yang perlu diutamakan. Memaksakan keseimbangan yang kaku justru bikin frustrasi, karena standar itu nyaris mustahil untuk dicapai.

Di sinilah pelajaran dari paradox of hedonism itu penting. Kebahagiaan nggak bisa dikejar langsung. Bayangkan seorang peneliti yang larut dalam risetnya. Dia mungkin kelelahan, tapi ada kepuasan mendalam yang dirasakan. Atau seorang guru yang rela menghabiskan waktunya untuk murid-muridnya. Dia mungkin kehilangan "waktu me-time", tapi bahagia melihat anak didiknya berhasil.

Dalam kasus seperti itu, kebahagiaan muncul bukan karena mereka mengejar keseimbangan. Tapi, karena mereka hidup sesuai dengan nilai-nilai yang mereka yakini.


Halaman:

Komentar