Memang, konsep work-life balance tetap relevan sebagai pengingat bahwa hidup bukan cuma tentang kerja. Tapi, kalau dijadikan patokan kaku, risikonya kita malah terjebak dalam paradoks tadi. Obsesi untuk "hidup seimbang" bisa bikin kita merasa gagal terus-terusan.
Yang lebih penting sebenarnya adalah kejujuran pada diri sendiri. Apakah pekerjaan ini memberi makna? Apakah hubungan dengan orang sekitar sehat? Dan yang utama, apakah kita bisa menerima bahwa hidup ini nggak selalu ideal?
Keseimbangan sejati bukanlah angka di atas kertas. Ia adalah proses yang dinamis, berubah sesuai konteks. Ada kalanya kerja butuh fokus penuh, dan itu wajar. Ada masanya keluarga jadi prioritas, dan itu juga wajar. Saat diri sendiri perlu diperhatikan, ya itu sah-sah saja.
Dengan begitu, kita nggak akan terjebak pada doktrin keseimbangan yang kaku. Hidup bisa dijalani dengan lebih fleksibel, dan yang pasti, lebih jujur.
Jadi, kesimpulannya, menjadikan work-life balance sebagai tujuan utama justru bisa menghalangi kebahagiaan. Sama seperti paradoks hedonisme, kebahagiaan nggak datang karena dikejar-ngejar. Ia muncul sebagai konsekuensi dari hidup yang otentik, penuh makna, dan yang terpenting, menerima ketidaksempurnaan.
Dengan perspektif ini, kita bisa lebih realistis menghadapi naik-turunnya kehidupan. Menjaga kesehatan mental jadi lebih kontekstual, dan yang pasti, lebih manusiawi.
Artikel Terkait
Tilang Menghujam, 574 Pelanggaran Terjaring Zebra Samrat Sulut
Praktik Pungli Ratusan Miliar Terungkap di Balik Tren Thrifting
Warga Gaza Diimbau Tingkatkan Kewaspadaan, Intensitas Pengawasan Israel Kian Menggila
Roy Suryo dan Kawan-Kawan Tolak Jalan Damai, Pilih Buktikan Kasus di Meja Hijau