Strategi Politik Tersembunyi: Membaca Pergerakan Jokowi, Gibran, dan Prabowo
Oleh: M. Isa Ansori
Dalam dunia politik Indonesia, terdapat dimensi yang terlihat dan dimensi yang tersembunyi. Para ahli seperti Clifford Geertz menggambarkannya sebagai negara teater, di mana simbol, gestur, dan pertunjukan budaya sering kali lebih berbicara daripada kebijakan itu sendiri. Kenneth Beatty menambahkan bahwa emosi politik masyarakat Indonesia dibangun melalui ritual, kedekatan personal, dan ketakutan akan ketidakpastian. Sementara itu, Niels Mulder memandang kekuasaan di Nusantara sebagai ruang batin sosial, di mana harmoni dipentaskan untuk menutupi konflik yang sesungguhnya.
Dalam konteks ini, hubungan antara Jokowi, Gibran, dan Prabowo menjadi ruang gelap politik yang paling menentukan saat ini. Ruang ini tidak diungkapkan secara terbuka, namun memiliki pengaruh besar dalam menggerakkan struktur kekuasaan.
Politik Kehati-hatian Jokowi: Strategi Perlindungan Simbolis
Berdasarkan perspektif Geertz, Jokowi kerap memainkan politik simbol daripada politik pengakuan. Ia menggunakan bahasa-bahasa kecil seperti kunjungan mendadak, sapaan informal, pembangunan infrastruktur, atau pernyataan yang tampak netral namun memiliki arah tertentu.
Namun, di akhir masa jabatannya, muncul pola berulang di mana setiap perubahan lanskap kekuasaan diarahkan untuk mengamankan posisi Gibran di masa depan. Mulder menyebut fenomena ini sebagai kelangsungan patronase, di mana seorang patron tidak pernah benar-benar pensiun, melainkan memperpanjang pengaruhnya melalui keluarga.
Transformasi infrastruktur politik, termasuk penataan jaringan, penempatan tokoh, dan pengelolaan opini publik, dipandang sebagai bentuk perlindungan simbolis. Di sinilah ruang gelap muncul: Jokowi tidak pernah secara terbuka menyatakan niatnya melindungi Gibran, namun setiap langkah politiknya cenderung mengarah ke sana.
Prabowo: Strategi Pengambilalihan dan Tantangannya
Prabowo hadir dengan pendekatan yang berbeda: bukan kehati-hatian, melainkan keberanian mengambil alih beban politik yang ditinggalkan Jokowi. Menurut teori Mulder, penguasa tradisional yang kuat sering kali mengambil "aib pendahulu" sebagai cara menegaskan wibawa barunya. Dalam budaya Jawa, ini mirip dengan konsep mengemban tugas untuk menjaga harmoni.
Prabowo tampaknya menyadari bahwa melawan warisan Jokowi sepenuhnya dapat mengganggu stabilitas politik. Oleh karena itu, ia memilih untuk mengadopsi warisan tersebut alih-alih menolaknya. Namun, pengadopsian ini sekaligus memindahkan pusat gravitasi kekuasaan ke dirinya.
Risiko Strategi Prabowo
Setiap kegagalan masa lalu yang ia ambil alih dapat menjadi beban di masa depan. Kedekatannya dengan Jokowi dapat ditafsirkan sebagai ketergantungan. Sementara itu, setiap koreksi terhadap kebijakan sebelumnya dapat dilihat sebagai bentuk pembalasan. Dengan kata lain, Prabowo berada di antara dua pilihan: menerima warisan untuk stabilitas, namun harus menjaga jarak untuk legitimasi.
Artikel Terkait
Ombudsman Ungkap Potensi Kerugian Negara Rp7 Triliun Akibat Tata Kelola Beras Bulog
Ledakan Bom SMAN 72 Jakarta: Korban, Pemulihan Mental, dan Fakta Terkini
Merry Berry Love: Sinopsis, Pemain, dan Jadwal Tayang Drama Korea-Jepang di Disney+
Mafia Tanah Tak Bisa Diberantas? Analisis Kritis Pernyataan Nusron Wahid