Divonis Korupsi Tapi Niat Jahat Tak Terbukti? Ini Kata Pengamat Soal Vonis Tom Lembong Yang Bikin Banyak Pihak Bingung!

- Senin, 21 Juli 2025 | 16:40 WIB
Divonis Korupsi Tapi Niat Jahat Tak Terbukti? Ini Kata Pengamat Soal Vonis Tom Lembong Yang Bikin Banyak Pihak Bingung!


Padahal, dalam hukum pidana modern, ada dua unsur penting yang harus dibuktikan dalam sebuah kasus: actus reus (perbuatan jahat) dan mens rea (niat jahat).


Kalau unsur niat ini tidak terbukti secara jelas, maka pondasi untuk menjatuhkan pidana menjadi lemah dan berisiko menimbulkan preseden buruk.


Hardjuno juga menekankan bahwa diskresi atau kebijakan yang diambil seorang pejabat negara tidak serta-merta dapat dianggap sebagai tindak pidana.


Dalam konteks ini, keputusan Tom Lembong menerbitkan persetujuan impor gula kepada 10 perusahaan memang tanpa rapat koordinasi dan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, tetapi bisa jadi masuk dalam kategori kesalahan administratif, bukan pidana.


Karena itu, ia mendorong lembaga hukum agar lebih berhati-hati dalam membedakan antara kekeliruan administratif dan tindak pidana korupsi.


Pemahaman yang keliru soal hal ini bisa membuat hukum menyimpang dari prinsip keadilan dan justru mencederai kepercayaan publik.


Dalam sidang putusan yang digelar Jumat (18/7), Tom Lembong divonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan.


Ia dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.


Tindak pidana itu berkaitan dengan penerbitan surat persetujuan impor gula tanpa dasar koordinasi lintas kementerian.


Namun vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa, yang sebelumnya menuntut hukuman 7 tahun penjara.


Meski begitu, denda yang dijatuhkan tetap sama seperti tuntutan, yaitu Rp750 juta.


Kasus ini menyisakan banyak pertanyaan, terutama soal bagaimana aparat penegak hukum menentukan batas antara pelanggaran administratif dan kejahatan korupsi.


Kritik dari pengamat seperti Hardjuno menjadi penting sebagai bahan refleksi untuk memperbaiki sistem hukum ke depan agar lebih adil, transparan, dan berbasis bukti yang kuat.


Sumber: HukamaNews


Halaman:

Komentar