Diplomasi Transaksional Trump Picu Gelombang Kecemasan di Tokyo dan Seoul

- Jumat, 05 Desember 2025 | 13:20 WIB
Diplomasi Transaksional Trump Picu Gelombang Kecemasan di Tokyo dan Seoul

Di Tokyo dan Seoul, mata para diplomat tertuju pada Washington. Langkah-langkah terbaru pemerintahan Donald Trump terkait Ukraina dan Cina diamati dengan cermat, bahkan dengan rasa was-was. Intinya, ada sinyal kuat bahwa Amerika Serikat kini menjalankan diplomasi yang sangat transaksional. Bagi Jepang dan Korea Selatan, ini bukan sekadar perubahan gaya ini bisa mengguncang fondasi aliansi lama di Asia Timur Laut yang sudah bertahan puluhan tahun.

Ambil contoh proposal perdamaian untuk Ukraina yang digaungkan Trump, yang awalnya dianggap terlalu mengakomodasi Rusia. Meski kemudian ada versi yang lebih lunak dan pembicaraan masih berjalan, Washington berkali-kali memberi isyarat bahwa mereka siap mundur dari Ukraina. Di sisi lain, terkait Cina, rencana pertemuan empat kali antara Trump dan Xi Jinping pada 2026 termasuk kunjungan kenegaraan diklaim Menteri Keuangan Scott Bessent bakal membawa "stabilitas besar". Tujuannya jelas: memperbaiki hubungan setelah perang dagang yang sengit.

Secara resmi, kedua negara sekutu AS itu memilih diam. Tapi di balik layar, banyak pengamat di ibu kota kedua negara membaca kebijakan luar negeri Washington dengan nada suram. Mereka melihat dukungan Trump terhadap seorang pemimpin otoriter yang menyerang tetangganya di Eropa. Persepsi ini memicu kekhawatiran mendalam: hal serupa bisa terjadi di kawasan Pasifik, dengan Taiwan sebagai titik api yang paling rentan.

Bayang-bayang Pengkhianatan di Asia

"Pengkhianatan Trump terhadap Ukraina menjadi bayang-bayang besar bagi Asia dan para sekutu Paman Sam di kawasan tersebut, yang kini mulai mempertanyakan seberapa dapat diandalkannya aliansi mereka dengan AS," kata Jeff Kingston, Direktur Studi Asia di Temple University Tokyo.

"Jepang dan Korea Selatan melihat Trump mendekati para pemimpin otoriter di Rusia, Cina, dan Korea Utara, sementara mereka justru diabaikan dalam isu perdagangan. Mereka bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika muncul krisis terkait Taiwan," ujarnya.

Kingston menambahkan bahwa Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi kemungkinan merasa "kecewa". Pasalnya, Trump tak langsung memberikan dukungan saat Tokyo berhadapan dengan tekanan dari Beijing.

Dalam pidato pertamanya di parlemen, Takaichi memang bersikap tegas. Dia menyebut intervensi bersenjata Cina terhadap Taiwan sebagai "ancaman eksistensial" bagi Jepang yang mungkin memerlukan respons militer. Cina pun murka. Mereka menuntut Jepang tidak ikut campur dan membalas dengan serangkaian sanksi ekonomi serta budaya.

Takaichi menolak menarik pernyataannya. Namun, dia tampaknya tidak mendapat balasan yang diharapkan. Malah, menurut laporan, dalam percakapan telepon pada 24 November, Trump menasihatinya untuk tidak "memprovokasi" Cina. Bukan jaminan kuat yang diinginkan seorang sekutu.

Harapan yang Tak Terpenuhi dan Investasi Besar

"Setelah keberhasilan kunjungan Trump ke Tokyo dan komitmen Takaichi untuk berinvestasi di AS, saya pikir dia berharap mendapat sesuatu yang lebih," kata Jeff Kingston. "Dia pasti ingin Trump menegaskan kembali bahwa Jepang adalah 'pondasi perdamaian' di kawasan ini."

"Memberitahunya untuk tidak 'memprovokasi' Cina bukanlah pernyataan tegas yang dia harapkan," tambahnya.


Halaman:

Komentar