Pengalaman pahit serupa dialami Hayati, seorang ibu 55 tahun dari Bogor. Di tahun 2024 lalu, ia terpaksa pinjam Rp 2 juta untuk modal usaha mendesak. Tenornya tiga bulan. Tapi, baru sadar saat cicilan pertama ternyata lebih dari Rp 1 juta.
Hayati sama sekali nggak tahu soal sistem tadpole. Ia pun nggak sempat konfirmasi ke customer service platform yang digunakannya.
Inilah masalahnya. Karakter konsumen pindar seringkali memang tak punya banyak pilihan. Mereka butuh cepat, akhirnya terjerat skema yang memberatkan. Tak jarang, untuk menutupi cicilan awal yang besar, mereka malah meminjam lagi di tempat lain bahkan ke pinjol ilegal dan terperangkap dalam lingkaran utang.
Menanggapi hal ini, OJK sebenarnya sudah mengambil langkah. Skema tadpole sempat dilarang pada September lalu. Agusman, Kepala Eksekutif Pengawasan di OJK, menekankan bahwa pihaknya telah membatasi praktik tersebut.
Menurutnya, skema front-loaded installments seperti tadpole masih boleh, asal mematuhi batasan manfaat ekonomi, transparan ke konsumen, dan memenuhi kualitas pendanaan tertentu. Aturan ini diharapkan bisa melindungi konsumen dan menciptakan iklim usaha pindar yang lebih sehat.
Namun begitu, cerita Robby dan Hayati menunjukkan bahwa di lapangan, praktiknya belum tentu seideal aturan. Transparansi seringkali masih jadi masalah. Bagi peminjam, pesannya jelas: baca dulu, teliti baik-baik, sebelum akhirnya menandatangani perjanjian. Jangan sampai terburu-buru.
Artikel Terkait
Koin Sawit Seribu Rupiah: Dicabut BI, Diburu Kolektor Hingga Ratusan Juta
Kadin Soroti Dilema Upah Baru: Industri Nonmigas di Ujung Tanduk?
Petani Kakao Pohuwato Sambut Langsung Pembeli dari Jepang
IHSG Terancam Tembus 8.600, Waspadai Guncangan dari Bank Jepang