Menariknya, Dima menyebut banyak negara sebenarnya sudah lama mempraktikkan model kerja sama ini. Hanya saja, seringkali tanpa label resmi. Bentuknya bisa berupa inisiatif regional yang jadi ruang bertukar pengalaman dan pembiayaan bersama.
Menjelang Kerangka Strategis UNOSSC 2026–2029, badan PBB ini akan tetap berperan sebagai fasilitator. Tujuannya jelas: memperkuat pembentukan koalisi lintas pemangku kepentingan.
"Pendekatan ini akan memungkinkan proses pencocokan yang lebih cepat dan terarah," kata Dima.
Dia menjelaskan lebih lanjut, sistem seperti PBB memegang peran penting sebagai fasilitator di berbagai level. Sebagai contoh, Dima menyoroti pengalaman Indonesia bersama Filipina, Laos, dan Kamboja dalam inisiatif keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Kolaborasi yang didukung UNFPA ini dinilai punya nilai strategis tinggi.
"UNFPA merupakan salah satu entitas PBB yang sangat aktif dalam mendukung kerja sama Selatan–Selatan dan triangular," jelasnya.
Inisiatif semacam itu, tutur Dima, menjadi konten berharga bagi platform pengetahuan UNOSSC. Pada akhirnya, solusi yang telah teruji di satu wilayah bisa ditawarkan untuk mengatasi tantangan serupa di wilayah lain. Itulah kekuatan pertukaran sesama negara berkembang.
Artikel Terkait
Dolar AS Terseok di Asia, Pasar Menanti Data Ketenagakerjaan dan Sinyal Bank Sentral
Harga Emas Antam Stagnan di Rp 2,46 Juta per Gram
IHSG Melaju Sendirian di Tengah Kemelut Pasar Asia
Bluebird Siapkan 25 Ribu Armada Hadapi Lonjakan Libur Akhir Tahun