Jokowi, Ijazah yang Membakar Demokrasi

- Kamis, 22 Mei 2025 | 07:40 WIB
Jokowi, Ijazah yang Membakar Demokrasi



DI negeri yang konon menganut demokrasi Pancasilais ini, kekuasaan tidak pernah sekadar alat. Ia adalah candu, komoditas, bahkan mantera gaib yang bisa membelah nalar bangsa. 


Salah satu tokoh utama dalam narasi ini adalah Joko Widodo alias Jokowi, presiden dua periode yang naik dari tukang kayu hingga kursi RI-1 dengan narasi sederhana: rakyat kecil yang membela rakyat kecil.


Namun, dari tahun ke tahun, naskah politik negeri ini ditulis ulang oleh mereka yang tak rela kehilangan pengaruh, membentuk skenario -- termasuk wacana tiga periode yang kini menjadi arca patah di tengah gugatan ijazah palsu yang membumbung.


Ini bukan soal Jokowi semata. Ini tentang bagaimana republik menata ulang kepercayaan publik, ketika seorang kepala negara tak hanya harus menjawab soal kinerja, tapi juga soal ijazah.


Tiga Periode -- Mimpi Panjang Para Penjilat


Isu tiga periode bagi Jokowi bukanlah angin lalu. Sejak 2021, wacana ini muncul dari berbagai kalangan -- anggota partai, relawan, hingga pejabat tinggi. 


Sekilas seperti pengabdian, padahal lebih mirip jebakan kekuasaan yang tak rela pensiun dini. Dalih stabilitas dan kesinambungan pembangunan hanya pemanis yang buruk dalam gelas demokrasi yang keruh. Nyatanya, ide ini menabrak konstitusi yang sejak awal membatasi jabatan presiden hanya dua periode.


Kegagalan skenario ini menunjukkan bahwa publik masih punya daya kritis. Demonstrasi mahasiswa, gelombang penolakan dari akademisi, dan tekanan masyarakat sipil membuat isu ini retoris belaka.


Bahkan Jokowi sendiri -- meski sempat abu-abu -- akhirnya menolak terang-terangan. Namun, kerusakan sudah terjadi. Isu ini membuka mata kita: demokrasi kita begitu mudah dikooptasi oleh mereka yang takut kehilangan akses terhadap kekuasaan.


Gibran dan Upaya Menyelamatkan Tahta Dinasti


Ketika tiga periode gagal secara formal, para pengatur naskah segera menggeser panggung: mendorong Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo. Mahkamah Konstitusi (MK) -- yang seharusnya menjadi tembok hukum tertinggi -- mendadak longgar seperti kain basah, ketika usia minimum cawapres diubah lewat tafsir yang kontroversial.


Putusan itu bukan hanya membuka jalan bagi Gibran, tapi juga membuka luka dalam kepercayaan publik terhadap institusi hukum. Keterlibatan Anwar Usman, ipar Jokowi yang saat itu menjabat Ketua MK, menimbulkan aroma konflik kepentingan yang menyengat. Publik tak bodoh. Mereka tahu, kalaupun Jokowi tak jadi tiga periode, ia tetap ingin hadir lewat ‘tiga periode bayangan’ lewat Gibran.


Ketika Ijazah Menjadi Masalah Negara


Tepat ketika wacana tiga periode melemah dan Prabowo-Gibran mendominasi wacana pilpres, muncul isu yang lebih liar: tuduhan bahwa ijazah Jokowi palsu. Gugatan diajukan oleh Bambang Tri Mulyono, seorang penulis yang dikenal vokal terhadap pemerintah. Ia menggugat keabsahan ijazah Jokowi, menuding bahwa Presiden tak pernah benar-benar kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM).


Awalnya banyak yang menganggap ini sebagai sensasi. Namun, fakta bahwa gugatan itu diterima pengadilan memaksa publik untuk memandangnya lebih serius. Bahkan pihak UGM sendiri mengadakan konferensi pers dan menyatakan bahwa Jokowi adalah alumni sah mereka.


Tetapi, transparansi publik tidak hanya selesai dengan pengakuan satu pihak. Netizen, aktivis, bahkan beberapa akademisi ikut menguliti berbagai data dan testimoni yang memperlihatkan lubang-lubang mencurigakan: dari absennya teman kuliah yang mengenalnya, hingga sidang skripsi yang tak terdokumentasi.


Mengapa Ijazah Bisa Jadi Isu Penting?


Sebagian orang mungkin bertanya, “Kenapa ribut soal ijazah?” Jawabannya bukan karena selembar kertas. Ini tentang integritas, kepercayaan publik, dan konstitusi. Presiden adalah wajah negara. Jika dasar legalitasnya diragukan, maka seluruh legitimasi kekuasaannya ikut rapuh.


Halaman:

Komentar