Faisal juga mengingatkan, patokan penundaan jangan cuma dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi makro seperti target 6 persen tadi. Soalnya, pertumbuhan tinggi belum tentu mencerminkan kondisi semua sektor. "Bisa saja ekonomi tumbuh 6 persen, tapi industri makanan-minumannya justru lagi lesu. Yang mendorong pertumbuhan mungkin sektor lain," jelasnya. Jadi, kondisi sektor terkait harus benar-benar diperhatikan.
Di sisi lain, Rangga Cipta, Chief Economist Mandiri Sekuritas, sepakat bahwa implementasi cukai MBDK ini nggak sederhana. Pemerintah harus menimbang dua hal sekaligus: potensi tambahan pendapatan negara dan dampaknya terhadap industri. "Sebab, kalau industrinya terpukul, pendapatan pajak dari sektor itu juga bisa ikut anjlok," ucap Rangga.
Menurut dia, alasan penundaan sebelumnya juga erat kaitannya dengan daya beli masyarakat. Cukai tambahan berisiko dibebankan ke konsumen, dan itu jadi pertimbangan serius.
Tapi, Rangga memperkirakan risiko penundaan ini relatif kecil dari sisi penerimaan negara. Potensi cukai dari minuman berpemanis, katanya, paling-paling sekitar Rp 4 triliun. Jauh lebih kecil dibandingkan sektor lain seperti pertambangan yang bisa menyumbang puluhan triliun. "Jadi risikonya sangat kecil meski ditunda," tuturnya.
Sebelumnya, Menkeu Purbaya memang berjanji akan lebih berhati-hati. Ia mengakui kondisi ekonomi masyarakat saat ini belum cukup kuat. "Nanti kalau ekonomi sudah membaik, saya akan paparkan lebih detail soal MBDK ini," katanya dalam sebuah rapat di DPR.
Artikel Terkait
Menteri Agraria Serukan Perlindungan Sawah di Kalteng, Ancaman Pangan Mengintai
Bali Tetap Jadi Magnet, Bandara Ngurah Rai Layani Lebih dari 22 Juta Penumpang
Target IPO BEI Dipangkas, OJK: Fokus Kualitas, Bukan Kuantitas
Jalur Vital Sumut Dibuka, Pemulihan Pascabencana Dimulai dari Akses