Memang, angka impor produk refraktori Indonesia mencapai lebih dari USD 200 juta per tahun. Fakta itu sekaligus jadi gambaran: kebutuhan dalam negeri sangat besar, namun belum terlayani maksimal oleh produsen domestik. BATR melihat ini sebagai peluang strategis.
Di sisi lain, perusahaan ini baru saja menyelesaikan program buyback saham senilai Rp 4 miliar. Aksi korporasi yang berlangsung dari 16 Mei hingga 16 Juli 2025 ini, kata mereka, takkan ganggu likuiditas. Tujuannya jelas, menjaga stabilitas harga saham dan kepentingan para pemegang saham.
Soal operasional, BATR memproduksi beragam material tahan panas mulai dari fire brick, castable refractory, sampai produk insulasi khusus. Kapasitasnya sekitar 1.300 ton per bulan. Untuk mendongkrak itu, mereka pakai dana IPO buat bangun fasilitas baru, beli mesin produksi, dan modernisasi lab.
Manajemen BATR sendiri tak menampik bahwa ketergantungan pada impor adalah tantangan sekaligus peluang. Permintaan dari sektor smelter, peleburan logam, hingga pembangkit listrik dipastikan akan terus naik. Makanya, ekspansi kapasitas jadi langkah krusial.
Optimisme itu tercermin dalam target mereka. BATR mengejar pendapatan Rp 150 miliar di tahun 2025, naik dari sebelumnya sekitar Rp 123 miliar. Laba bersih pun ditargetkan melesat ke Rp 14,8 miliar.
Jadi, ceruk pasarnya besar. Momentumnya tepat. Tapi jalan ke depan tentu tak mulus. Konsistensi dalam produksi, strategi pemasaran, dan kepatuhan pada standar teknis akan jadi penentu utama. Apakah BATR benar-benar bisa jadi pemain utama? Waktu yang akan menjawabnya.
Artikel Terkait
IHSG Menguat Tipis, Rupiah Justru Tersungkur ke Rp 16.646
Harga Cabai Meroket, Pasar Kramat Jati Dihantui Ancaman Nataru
ICC 2025 Resmi Dibuka, Unsoed Jadi Tuan Rumah Literasi Keuangan
Pajak Digital Tembus Rp 43,75 Triliun, Gim hingga Kripto Jadi Pundi Baru Negara