Tapi, jangan salah. Valuasi SGRO ini masih lebih tinggi daripada AALI yang cuma berkisar di Rp42 juta per hektare. Jadi posisinya ada di tengah-tengah lah.
Perbedaan angka-angka ini wajar saja. Biasanya dipengaruhi banyak hal. Faktor seperti produktivitas kebun, prospek pertumbuhan jangka panjang, dan kontribusi aset di luar perkebunan punya peran besar. Dalam hal ini, valuasi SGRO bisa dibilang cukup kompetitif dan masih menarik dibandingkan perusahaan sejenis.
Di sisi lain, perubahan pengendali ke grup besar macam POSCO International ini jelas membawa angin segar. Pasar melihatnya sebagai sentimen positif untuk ekspansi operasional jangka panjang, perbaikan tata kelola, dan stabilitas bisnis ke depannya.
Namun begitu, untuk jangka pendek, MTO tetaplah katalis utama bagi pergerakan saham SGRO. Apalagi harga penawarannya diperkirakan masih di atas harga pasar saat ini.
"Perbedaan nilai valuasi EV/hektare perusahaan CPO sendiri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, persepsi pasar terhadap produktivitas tanaman, outlook pertumbuhan, serta profitabilitas aset perkebunan maupun nonperkebunan yang dimiliki perusahaan," tulis Stockbit dalam laporannya.
Artikel Terkait
Cara Cek Bansos Rp900 Ribu Tahap Akhir Hanya dengan KTP
Perempuan Menggedor Batas: Dari Dapur ke Pucuk Komando Ekonomi Keluarga
XL Axiata Bagikan Dividen Rp2,89 Triliun, Cair 11 Desember
Menguak Jejak Bisnis SSIA, dari Properti hingga Hotel Mewas