Kondisi ini berbahaya. Kita punya mekanisme pengawasan anggaran dan audit kinerja. Namun, AI berpotensi menciptakan ruang gelap kebijakan, wilayah pengambilan keputusan yang luput dari audit konvensional karena bersembunyi di balik kompleksitas teknis.
Jika dibiarkan, AI malah bisa memperkuat bias struktural yang sudah ada. Wilayah tertinggal bisa terus dinilai berisiko tinggi oleh algoritma yang belajar dari data masa lalu. Kelompok rentan makin terpinggirkan karena tak terbaca secara statistik. Dan yang paling problematik, semua ini terjadi tanpa ada aktor manusia yang bisa dimintai pertanggungjawaban secara jelas.
Maka, narasi bahwa AI meningkatkan efisiensi harus diimbangi dengan pertanyaan normatif: efisiensi untuk siapa, dan dengan risiko apa? Tanpa transparansi, efisiensi bisa berubah menjadi alat eksklusi yang halus namun sistemik.
Rekomendasi Kebijakan Publik
Menagih transparansi bukan berarti menolak teknologi. Justru sebaliknya, ini upaya memastikan teknologi benar-benar bekerja untuk kepentingan publik. Beberapa langkah mendesak perlu dipertimbangkan.
Pertama, wajibkan transparansi algoritmik untuk sistem AI sektor publik. Setiap penggunaan AI yang berdampak pada hak warga harus punya dokumentasi terbuka tentang tujuannya, jenis data yang dipakai, variabel kunci, serta batasan dan potensi biasnya. Tidak semua kode sumber harus dibuka, tapi logika kebijakan di baliknya harus bisa diaudit.
Kedua, bangun mekanisme audit algoritma independen. Ini berbeda dari audit keuangan. Prosesnya harus melibatkan pakar data, analis kebijakan, dan perwakilan publik untuk menilai keadilan, akurasi, serta dampak sosial dari sistem AI pemerintah.
Ketiga, tegaskan hak warga untuk mendapatkan penjelasan dan mengajukan keberatan. Jika sebuah keputusan administratif diambil atau direkomendasikan oleh AI, warga berhak tahu dasarnya dan punya jalur untuk mengoreksi melalui mekanisme yang jelas dan mudah diakses.
Kemudian, kapasitas internal pemerintah harus diperkuat. Negara tidak boleh bergantung sepenuhnya pada vendor. Pengembangan AI harus disertai transfer pengetahuan dan penguatan talenta di tubuh birokrasi, agar negara paham betul sistem yang digunakannya sendiri.
Terakhir, integrasikan prinsip transparansi AI ke dalam kebijakan keterbukaan informasi publik. AI bukan wilayah teknis eksklusif. Ia bagian dari proses pemerintahan yang harus tunduk pada prinsip akuntabilitas demokratis.
Indonesia sedang di persimpangan. AI bisa menjadi alat perbaikan kebijakan publik yang signifikan. Namun tanpa transparansi, ia berisiko menciptakan birokrasi yang lebih cepat, tapi sekaligus lebih gelap.
Menagih transparansi dari dashboard hingga logika algoritma bukan sikap anti-teknologi. Ini adalah tuntutan agar negara tetap bisa dipertanggungjawabkan di era di mana kode mulai memegang kendali.
Artikel Terkait
Telkomsel Kembali Borong Penghargaan Global Berkat Kecerdasan Buatan
Waktu di Mars Lebih Cepat, Tantangan Baru untuk Misi Berawak ke Planet Merah
Instagram for TV Resmi Hadir, Reels Kini Bisa Dinikmati di Layar Besar
Telkom Raih Penghargaan ESG, Bukti Komitmen Tata Kelola yang Berdampak