Ada gambar yang cukup viral, menunjukkan pola aktivitas otak perempuan dan laki-laki. Otak perempuan tampak "lebih ramai", seolah mengerjakan banyak hal. Sementara otak laki-laki terlihat lebih tenang dan fokus pada satu area. Banyak yang salah tafsir. Mereka menjadikannya sebagai "bukti visual" bahwa perempuan memang lebih multitasking.
Padahal, para ahli saraf punya penjelasan lain. Pola itu hanya menunjukkan variasi normal dalam cara otak bekerja. Otak perempuan yang terlihat lebih aktif dan berpindah-pindah itu lebih mencerminkan kecenderungan untuk melakukan task switching, bukan kemampuan ajaib mengerjakan semuanya secara bersamaan dengan hasil sempurna. Ini perbedaan gaya, bukan bukti superioritas.
Dampaknya? Nyata dan Merugikan Banyak Pihak
Pseudoscience punya konsekuensi serius. Percaya perempuan "secara alami" jago multitasking sering berujung pada pembebanan tugas yang lebih banyak, baik di rumah maupun kantor. "Kamu kan bisa," jadi pembenaran yang mudah. Di sisi lain, laki-laki yang dianggap kurang cakap dalam hal ini bisa diremehkan, padahal kemampuan fokus mendalam yang mereka sering diasosiasikan juga sangat berharga.
Stereotip ini pada akhirnya mengukuhkan bias gender dan mengabaikan keragaman individual. Kenyataannya, kemampuan mengelola banyak tugas lebih dipengaruhi oleh faktor seperti pengalaman, latihan, dan tuntutan situasi bukan oleh jenis kelamin. Ada perempuan yang lebih suka fokus tunggal, ada laki-laki yang ahli dalam alih tugas. Semua normal.
Kesimpulannya
Jadi, anggapan bahwa perempuan lebih multitasking adalah mitos yang dibungkus tampilan ilmiah. Bukti empirisnya tidak ada. Yang ada justru dampak sosialnya: ekspektasi tidak adil dan penguatan stereotip usang.
Penting bagi kita untuk paham bahwa multitasking sejati menyelesaikan beberapa tugas kompleks secara bersamaan dengan kualitas tinggi sangatlah sulit bagi siapapun. Yang sering kita saksikan hanyalah seni beralih tugas dengan cepat, yang juga punya konsekuensi pada kelelahan dan kesalahan.
Dengan mengedepankan pemahaman yang kritis dan ilmiah, kita bisa menciptakan ekspektasi yang lebih realistis dan adil untuk semua.
Artikel Terkait
Misteri Rasa Kenyang: Bagaimana Tubuh Memberi Tanda Cukup, Stop!
Telkomsel Bangkitkan Kembali Sinyal di Takengon Pascabencana
Mencari Batas Dingin: Dari Gurun Es Antarktika Hingga Jatuh Bebas di Menara Kuantum
Samsung A07 Jadi Oasis di Tengah Badai Harga Chip Global