Pertama, budaya “yang penting hasil”. Banyak sekolah dan orang tua fokus pada nilai akhir, bukan proses. Siswa pun ditekan untuk cepat paham, dan tekanan itu melahirkan kecemasan.
Kedua, stigma bahwa salah berarti bodoh. Kesalahan dalam matematika sering dianggap kegagalan berpikir, bukan bagian wajar dari belajar. Ini bikin siswa takut mencoba, dan akhirnya malah menghindar.
Yang ketiga, pendekatan pengajaran yang kerap mengabaikan emosi. Metodenya sering mekanis, hanya mengejar target kognitif. Padahal, pemahaman mendalam butuh perpaduan antara kognisi, emosi, dan pengalaman belajar yang nyaman.
Gabungan faktor-faktor itu akhirnya membentuk persepsi: matematika adalah beban. Lama-lama, ia berubah jadi beban psikologis, bukan lagi jalan untuk memperoleh ilmu.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Untuk mengubah ini, guru, orang tua, dan sistem pendidikan perlu memberi perhatian lebih pada aspek emosional siswa. Beberapa langkah ini bisa jadi awal.
1. Hargai proses, bukan cuma hasil. Siswa perlu diajari bahwa salah itu wajar. Keberhasilan diukur dari usaha, perkembangan pemahaman, dan ketekunan bukan sekadar jawaban akhir yang benar.
2. Ciptakan lingkungan belajar yang aman secara emosional. Ruang kelas harus bebas dari tekanan berlebihan dan ejekan. Dukungan dan apresiasi atas usaha kecil sekalipun bisa menciptakan suasana yang lebih nyaman.
3. Ajarkan regulasi emosi. Bisa lewat latihan mindfulness singkat, olahraga ringan sebelum pelajaran berat, atau sekadar memberi jeda saat siswa terlihat jenuh. Tujuannya, menjaga memori kerja tetap optimal.
Dengan cara-cara itu, matematika pelan-pelan bisa berubah. Dari sesuatu yang menakutkan, jadi tantangan yang layak dicoba bahkan mungkin, menyenangkan.
Intinya
Kesulitan siswa Indonesia dalam matematika sering bukan soal kepintaran. Akar masalahnya ada pada persepsi negatif yang memicu stres dan kecemasan, yang kemudian mengganggu memori kerja dan memori jangka panjang.
Karena itu, meningkatkan kemampuan matematika harus dimulai dari membangun lingkungan belajar yang suportif. Kurangi tekanan, hargai proses, dan beri ruang aman secara emosional. Jika ini dilakukan, belajar matematika bisa jadi lebih efektif dan siapa tahu, justru mengasyikkan.
Artikel Terkait
Australia Jadi Negara Pertama yang Larang Anak di Bawah 16 Punya Akun Medsos
Setelah Diterjang Banjir, Jaringan Telekomunikasi di Tiga Provinsi Sumatera Mulai Bangkit
Komdigi Dirikan Posko Bermain untuk Pulihkan Trauma Anak Korban Banjir Sumatera
Rusia Ancam Blokir WhatsApp, Aplikasi Lokal MAX Siap Gantikan?