JAKARTA – Lagi-lagi, kasus suap menyeret nama seorang kepala daerah. Kali ini, Bupati Lampung Tengah nonaktif Ardito Wijaya ditetapkan KPK sebagai tersangka. Yang menarik, motifnya disebut-sebut klasik: melunasi utang kampanye. Uang suap Rp5,75 miliar itu, menurut penjelasan Plh Deputi Penindakan KPK Mungki Hadipratikto, sebagian besar dipakai untuk bayar pinjaman bank yang dipakai saat dia berjuang merebut kursi bupati.
“Di antaranya diduga digunakan untuk dana operasional bupati sebesar Rp500 juta dan pelunasan pinjaman bank yang digunakan untuk kebutuhan kampanye di tahun 2024 sebesar Rp5,25 miliar,”
kata Mungki di Gedung KPK, Kuningan, Kamis lalu.
Nah, dari kasus inilah KPK kembali angkat bicara. Mereka melihat ada pola yang berulang. Biaya politik yang selangit, menurut lembaga antirasuah itu, ternyata masih jadi momok. Akibatnya, para kepala daerah yang terpilih sudah keburu dibebani utang. Mereka pun punya ‘kewajiban’ untuk balik modal begitu menjabat. Situasi yang rawan penyimpangan.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo tak menampik hal itu. Menurutnya, temuan dalam kasus Ardito cuma satu contoh dari masalah yang lebih sistemik. Dia menyoroti satu hal yang selama ini sering diabaikan: laporan keuangan partai politik.
“KPK mendorong pentingnya standardisasi dan sistem pelaporan keuangan partai politik, agar mampu mencegah adanya aliran uang yang tidak sah,”
tegas Budi, Sabtu (13/12/2025).
Tanpa sistem pelaporan yang akuntabel dan transparan, uang-uang haram bisa dengan mudah menyusup ke dalam kantung kampanye. Sulit dilacak, apalagi dicegah.
Artikel Terkait
Pramono Anung Klaim 1.200 Pompa Siap Hadang Banjir Jakarta, Tapi Ada Catatan
Pemutihan Iuran BPJS Kesehatan Segera Digulirkan, Ini Syarat dan Cara Daftarnya
Pil Pahit Juara Bertahan: Indonesia Tersingkir Meski Menang di Laga Pamungkas
Tangki Raksasa dan Dermaga Apung Baru Pacu Efisiensi Kilang Pertamina Balikpapan