Kabut masih menyelimuti perasaan Yuni Efnita. Sudah beberapa hari ini, perempuan 40 tahun itu tinggal di pos pengungsian, namun pikirannya terus melayang kepada lima belas orang yang biasa bekerja bersamanya. Bencana banjir dan longsor yang menerjang Nagari Salareh Aia, Agam, tak hanya menyapu rumahnya, tapi juga menghancurkan seluruh sumber penghasilan mereka. Padahal, Yuni sendiri adalah korban.
“Saya susah begini, tapi saya pikir juga orang-orang itu nanti makan apa, kerja di mana,” ujarnya, suaranya lirih, saat ditemui Jumat lalu.
Rasa bersalah itu yang menggerogotinya. Meski dirinya ikut kehilangan segalanya, ia tak tega membayangkan nasib para pegawai yang puluhan tahun menggantungkan hidup pada usaha pinang dan kedai makannya. Bencana pada Kamis sore, 27 November lalu, benar-benar memutus mata rantai kehidupan itu dalam sekejap.
Sejak kejadian, Yuni dan puluhan warga lain mendiami sebuah ruang kelas SD. Beberapa karyawannya pun ada di sana. Mereka sekadar bertahan, sambil mencoba memunguti serpihan kenangan dari kehidupan yang dulu.
Tak ada yang tersisa. Usaha pinangnya musnah. Kedai makan di ruko tempat keluarganya tinggal pun rata dengan tanah. Di sisi lain, bengkel las suaminya juga tak berkutik semua mesin habis diterjang banjir bandang. “Tak ada satu pun terselamatkan,” kenang Yuni.
Artikel Terkait
Dua Jam Berjuang di Bawah Runtuhan: Kisah Yuni Selamatkan Anak dari Amukan Galodo Agam
Ribuan Alat Kerja dan Bantuan Logistik Dikirim Polri untuk Korban Bencana Sumatera
Hashim Djojohadikusumo Desak Pembangunan Tanggul Raksasa untuk Selamatkan Pesisir Jawa
Korban Tewas Bencana Sumatera Tembus 867, Pencarian 521 Jiwa Terus Digencarkan