Respons Kuasa Hukum atas Sanksi KPU
Kuasa hukum dari para pengadu, Ibnu Syamsu Hidayat, menyatakan bahwa putusan DKPP ini dinilai belum mencerminkan prinsip penegakan etik yang tegas dan berkeadilan.
Menurutnya, sanksi peringatan keras tidak sebanding dengan bobot pelanggaran serius yang berdampak pada kepercayaan publik terhadap integritas penyelenggara pemilu.
"Penggunaan fasilitas mewah dengan anggaran publik oleh pejabat penyelenggara pemilu bukan hanya pelanggaran administratif, melainkan indikasi kemunduran etika institusional. Dalam konteks tanggung jawab publik, tindakan demikian semestinya dijatuhi sanksi berat, bahkan pemecatan dari jabatan komisioner, untuk memastikan adanya efek jera dan pemulihan marwah KPU RI," tegasnya.
Ia menambahkan bahwa KPU seharusnya menjadi teladan dalam penerapan prinsip kesederhanaan, efisiensi, dan tanggung jawab publik.
"Ketika lembaga penyelenggara justru terlibat dalam praktik yang berpotensi menyalahi asas tersebut, maka DKPP perlu menegakkan standar etik tertinggi, bukan berhenti pada teguran administratif," tuturnya.
Putusan DKPP ini dinilai sebagai langkah setengah hati dalam menegakkan akuntabilitas moral penyelenggara pemilu. Sanksi yang ringan berisiko menciptakan persepsi bahwa pelanggaran etika dapat diselesaikan tanpa konsekuensi yang berarti.
"Namun demikian, kami menghormati Putusan DKPP ini, dan kedepan DKPP mampu memastikan bahwa setiap pelanggaran serius terhadap integritas penyelenggara pemilu ditindak secara proporsional. Penegakan etika yang lemah akan menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi Indonesia," pungkasnya.
Artikel Terkait
Analis Bantah Rumor Persaingan Dasco dan Sjafrie di Lingkaran Prabowo
Jeritan Netizen Beli Hutan: Sindiran Pedih di Balik Bencana Aceh dan Sumatera
Klaim Baru: Dosen Pembimbing Jokowi Disebut Tak Kenal Presiden
Sjafrie Sjamsoeddin: Tukang Cuci Piring atau New Luhut di Era Prabowo?