Sejak didapuk sebagai Ketua Harian PSI, Ahmad Ali lebih sering membangun tembok ketimbang jembatan dalam percaturan politik tanah air. Gayanya yang konfrontatif langsung terlihat dari pidato perdananya yang menyeret nama Presiden Prabowo Subianto.
Ia mendesak Prabowo untuk segera menyelesaikan kasus ijazah Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka yang sedang diusik serius oleh Roy Suryo dan kawan-kawan. Seolah-olah presidenlah yang menjadi penentu utama masalah ini.
Namun begitu, Presiden Prabowo tampaknya tak terusik. Roy Suryo sendiri kini berstatus tersangka. Apakah ini efek dari tekanan Ahmad Ali? Sulit untuk memastikannya.
Belakangan, Ahmad Ali juga menyasar Megawati Soekarnoputri dengan diksi "nenek-nenek yang puluhan tahun jadi ketua umum partai". Memang tidak menyebut nama secara langsung, tapi arahnya sudah jelas sekali.
Memang benar Megawati sudah berusia lanjut. Tapi menyebut hal itu di ruang publik, apalagi dalam konteks persaingan politik, jelas tidak pantas. Ini adalah pelecehan yang terang-benderang.
Jokowi sendiri mungkin tak akan berani menggunakan diksi seperti itu. Entah apa yang membuat Ahmad Ali begitu mudah melontarkan kata-kata seperti itu kepada Megawati.
Gaya politik Ahmad Ali memang tidak pandang bulu. Susilo Bambang Yudhoyono pun tak luput dari serangannya, meski tidak sevulgar saat menyebut Megawati. Presiden Prabowo juga terus diseret-seret dalam kasus ijazah Jokowi.
Bagi Ahmad Ali, Jokowi adalah segalanya. Ia langsung tancap gas tanpa melihat situasi. Mengatakan apa yang ingin dikatakan, tanpa memedulikan konsekuensinya.
Sebenarnya, waktu masih di NasDem pun Ahmad Ali sudah kontroversial. Tapi setelah pindah ke PSI, gayanya semakin menjadi-jadi. Tak ada lagi basa-basi politik, tak ada cerita tentang bersopan santun.
Mungkin ini yang menjelaskan mengapa ia gagal terpilih sebagai Gubernur Sulawesi Tengah meski didukung banyak partai. Juga tak terpilih kembali sebagai anggota DPR dari NasDem. Dan yang terbaru, gagal memenangkan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar pada Pilpres lalu.
Deretan kegagalan ini semestinya membuatnya merenung. Mencari tahu apa yang salah, lalu berusaha memperbaiki diri untuk bisa menang bersama PSI.
Tapi dengan gaya yang sama seperti dulu, hasilnya sudah bisa ditebak.
Yang mengherankan, mengapa Jokowi justru memilih Ahmad Ali dengan gaya politik yang sangat berbeda dengannya untuk membimbing anaknya, Kaesang Pangarep, di PSI?
Apakah ini strategi Jokowi untuk mengubah gaya berpolitik? Atau hanya kebetulan belaka?
Artikel Terkait
Analis Nilai Langkah Hukum Jokowi Soal Ijazah Bisa Jadi Bumerang
Rocky Gerung Soroti Prahara Internal NU di Tengah Tarik-Ulur Kekuasaan
PDIP Gebrak Meja ke PSI: Jangan Main Sindir, Etika Dulu!
Guntur Romli Bongkar Motif di Balik Vokalnya Ahmad Ali