Laporan AFP Minggu (28/12/2025) menyoroti satu hal: gelombang eksodus besar-besaran. Sejak kudeta militer lima tahun silam, banyak warga mengungsi keluar. Mereka yang pergi adalah para pria usia wajib militer, atau anak muda yang mencoba mencari napas di tengah ekonomi Myanmar yang nyaris tak bernyawa. Mereka mencari kehidupan yang lebih layak di seberang perbatasan.
Di sisi lain, gambaran serupa terlihat di pusat kota Yangon. Dekat Pagoda Sule yang megah berlapis emas, tempat pemungutan suara sepi. Hanya segelintir orang: para lansia, beberapa ibu menggendong bayi, atau ibu rumah tangga yang masih sempat mampir dengan keranjang belanjanya. Suasana jauh dari hiruk-pikuk pesta demokrasi.
Seorang pejabat pemilihan setempat, yang enggan dikorankan, membenarkan keheningan ini. Dari sekitar 1.400 pemilih terdaftar di lokasinya, belum sampai 500 orang yang mencoblos. Itu pun dihitung kurang dari dua jam sebelum TPS ditutup. Angkanya sangat jomplang jika dibandingkan dengan pemilu 2020 lalu, di mana partisipasi masyarakat menyentuh 70 persen. Kini, semangat itu seperti menguap begitu saja.
Jadi, meski pemilu berjalan, nuansanya terasa hambar. Sepi dari energi kaum muda, dan dipenuhi oleh keraguan yang menggantung di udara. Negeri ini masih mencari jalan keluar dari labirin konfliknya, dan pemilu hari ini belum tentu jadi pemandu arah yang dipercaya banyak orang.
Artikel Terkait
Hujan Lebat Tak Surutkan Semangat Polres Kuansing Layani Pemudik
Kapolda Riau Soroti Penurunan Kejahatan dan Sinergi Pentahelix di Akhir 2025
Dosen UIM Meludahi Kasir, Klaim Hanya Pindah Antrean
Green Policing dan Penurunan Kriminalitas 17%, Polda Riau Tutup 2025 dengan Catatan Gemilang