Banjir Sumatra 2025: Mengapa Negara Sengaja Menolak Label Bencana Nasional?

- Senin, 08 Desember 2025 | 15:00 WIB
Banjir Sumatra 2025: Mengapa Negara Sengaja Menolak Label Bencana Nasional?

Pendekatan seperti ini sebenarnya memperkuat tiga hal sekaligus. Pertama, penegakan hukum lingkungan tetap tajam. UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup membuka ruang tanggung jawab mutlak. Status bencana, apapun itu, tidak menghapus kewajiban pidana atau perdata pelaku perusak.

Kedua, posisi korban untuk menuntut keadilan jadi lebih kuat. Tanpa label nasional, dalih force majeure massal jadi lemah. Korban punya landasan lebih kokoh untuk menggugat secara perdata atau class action.

Ketiga, negara terhindar dari jebakan moral hazard fiskal. APBN tetap dipakai untuk penyelamatan, tapi bukan jadi karpet merah untuk menutupi kesalahan swasta atau kelalaian pejabat pemberi izin.

Melihat ke Luar: Pelajaran dari Negeri Lain

Praktik di negara maju pun nggak jauh beda. Amerika, Jepang, atau Filipina, mereka menggunakan deklarasi bencana nasional terutama untuk buka akses dana darurat dan koordinasi saat bencana benar-benar bersifat alamiah.

Tapi untuk bencana yang ada jejak kesalahan manusia dan pengabaian regulasi, pendekatan mereka lebih hati-hati. Korban ditolong secepatnya, tapi proses hukum tetap berjalan. Tanggung jawab tidak disederhanakan.

Indonesia justru akan naik kelas dalam tata kelola bencana kalau mulai berani jujur membedakan mana "bencana alam" murni, dan mana "bencana tata kelola" akibat ulah manusia.

Inti Pelajaran: Jangan Terulang

Masyarakat berhak menagih lebih dari sekadar bantuan darurat. Tragedi ini harus jadi titik balik. Setelah korban tertangani, negara wajib bertindak: buka data penyebab bencana secara transparan; audit forensik perizinan tambang dan kehutanan di daerah aliran sungai kritis; dan yang paling penting, tegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Selain itu, tata ruang berbasis risiko ekologis harus jadi prioritas, mengalahkan kepentingan jangka pendek.

Di sinilah ujian sejati kehadiran negara. Bukan pada spanduk deklarasi, tapi pada keberanian pemerintah mencegah dan memastikan pada rakyatnya bahwa tragedi semacam ini tidak akan terulang lagi.

Penutup: Esensi di Balik Nama

Jadi, menyebut atau tidak menyebut "bencana nasional" ini bukan soal gengsi atau sekadar merespons desakan. Ini soal pilihan strategi yang tepat dan menyentuh hal yang paling esensial.

Negara yang kuat adalah negara yang mampu berkata: kami akan lindungi rakyat kami sepenuh hati, tapi kami tidak akan mengampuni kesalahan, siapapun pelakunya.

Pada akhirnya, jika jenazah ditangani dengan hormat, korban diselamatkan, keadilan ditegakkan, lingkungan dibenahi, dan tragedi serupa bisa dicegah, maka sesungguhnya negara telah menjalankan tugasnya dengan baik. Dengan atau tanpa label nasional. Dan di situlah letak kemenangan dan pencerahan yang sesungguhnya bagi kita semua.


Halaman:

Komentar