Polemik Kewenangan di Tubuh PBNU: Syuriah dan Tanfidiyah dalam Sorotan AD/ART

- Minggu, 07 Desember 2025 | 16:50 WIB
Polemik Kewenangan di Tubuh PBNU: Syuriah dan Tanfidiyah dalam Sorotan AD/ART

Belakangan ini, suasana di internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memang tidak tenang. Perdebatan serius muncul, terutama soal struktur kewenangan. Intinya, ada perbedaan pandangan yang cukup tajam antara jajaran Syuriah dan Tanfidiyah. Untuk memahami ini, kita perlu menengok kembali nalar organisasi NU, dan yang paling krusial, adalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)-nya.

Secara historis, NU sejak awal didirikan sebagai wadah para ulama. Tujuannya jelas: menjaga, mengamalkan, dan mendakwahkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah. Nah, dalam struktur ini, Tanfidiyah bertugas mengurus hal-hal yang bersifat manajerial dan harian. Sementara itu, Syuriah memegang otoritas yang lebih tinggi dalam hal keagamaan dan kebijakan strategis organisasi.

Dari sini terlihat, kepemimpinan di NU bukan sekadar soal administrasi layaknya perusahaan. Lebih dari itu, ia adalah kepemimpinan spiritual dan keilmuan. Posisi sentral itu ada di tangan Syuriah dan Rais Aam. Hal ini bukan omong kosong belaka, karena AD/ART NU sendiri secara eksplisit memperkuat nalar dasar tersebut.

Lantas, bagaimana membaca aturan mainnya? Menurut sejumlah analisis, posisi pasal 14 serta penjelasan pasal 18 AD NU bisa dimaknai sebagai ushul atau prinsip dasar. Di pasal-pasal fundamental itulah dijelaskan bahwa Syuriah adalah pimpinan tertinggi. Tugasnya membina, mengawasi, dan memberikan keputusan hukum terkait pelaksanaan keputusan organisasi di semua level. Otoritasnya bersifat fundamental karena menyangkut arah dan moral organisasi. Rais Aam, secara ex-officio, adalah ketua di dalam struktur ini.

Di sisi lain, ada pasal 74 AD/ART yang sering dikedepankan. Pasal ini kerap dimaknai sebagai furu' atau hal yang bersifat cabang dan prosedural. Dalam kaidah hukum, dikenal prinsip "lex inferiori derogat legi superiori". Artinya, peraturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Maka, ketentuan prosedural tadi tentu saja tidak boleh menafikan prinsip dasar yang sudah ditetapkan sebelumnya mengenai Syuriah. Wajar saja jika banyak kalangan Nahdliyin berpendapat bahwa keputusan Syuriah punya kekuatan hukum tertinggi secara internal. Mengabaikannya sama saja mengabaikan pondasi organisasi.

Dilema Forum Kultural: Islah vs. Supremasi Marwah

Polemik ini pun melahirkan dinamika di luar struktur formal. Muncul beberapa forum kultural yang suaranya cukup berpengaruh. Pertama, ada forum Ploso dan Tebuireng. Keduanya lebih menyerukan islah atau perdamaian. Harapannya, kepemimpinan Gus Yahya di Tanfidiyah bisa dipertahankan demi menjaga keutuhan organisasi. Intinya, mereka ingin konflik cepat berakhir.

Kedua, forum kiai Bangkalan dan Babakan Cirebon. Mereka justru membela supremasi dan marwah Syuriah. Forum ini menekankan pentingnya mengembalikan kepatuhan struktural kepada Rais Aam dan Syuriah sebagai pimpinan tertinggi. Posisi ini juga diperkuat oleh maklumat dari pengasuh pesantren Krapyak.


Halaman:

Komentar