Lalu, Apa Saja yang Perlu Diperhatikan?
Pertama, soal ketimpangan kapasitas. Jumlah santri yang beragam, dari ratusan sampai ribuan, berarti kebutuhan dapurnya juga berbeda. Maka, skala prioritas mutlak diperlukan. Mungkin di awal, pesantren besar dengan santri di atas 4.000 orang yang jadi sasaran utama. Baru kemudian, bertahap, menjangkau yang lebih kecil.
Untuk pesantren besar, pembangunan Satuan Pelaksana Pemenuhan Gizi (SPPG) masih memungkinkan. Tapi untuk pesantren kecil atau terpencil, model dapur klaster mungkin lebih realistis. Di sinilah pentingnya data santri yang akurat dan ter-update. Tanpa itu, pengelompokan dan perencanaan akan buyar dari awal.
Kedua, soal dapur dan standarnya. Pembangunan dapur MBG harus memenuhi standar mutu dan keamanan pangan. Mulai dari penyimpanan bahan baku, pengolahan, sampai pengelolaan limbah. Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan tidak banyak pesantren yang punya dapur sesuai SOP akibat minimnya pembiayaan.
Di sisi lain, model pembiayaan campuran bisa jadi solusi. Kombinasi dari pemerintah pusat, daerah, PIP, ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah, hingga donatur dan investasi sosial. Selain itu, kemitraan dengan petani, nelayan, dan UMKM lokal untuk pasokan sayur atau ikan juga perlu didorong. Bahkan, pendirian koperasi pesantren sebagai pusat logistik patut dipertimbangkan.
Yang tak kalah pelik adalah pengawasan. Hierarki di pesantren itu khas. Kyai memegang otoritas utama, pengurus menjalankan teknis operasional, sementara santri adalah penerima manfaat. Melibatkan santri dalam pengawasan melalui mekanisme yang aman itu perlu, tapi belum cukup. Perlu transparansi lewat laporan berkala, audit partisipatif, serta pelibatan Kementerian Agama dan masyarakat sekitar sebagai pengawas eksternal.
Harapannya, budaya pesantren yang khas bisa diintegrasikan dengan baik ke dalam sistem MBG. Dengan pengawasan yang solid, program ini bisa efektif, akuntabel, dan bertahan lama.
Pada akhirnya, MBG punya potensi besar. Bukan cuma untuk meningkatkan gizi santri, tapi juga menggerakkan ekonomi lokal. Dengan mitigasi yang tepat perencanaan matang, standarisasi, pendanaan berkelanjutan, dan pengawasan ketat risiko kegagalan bisa ditekan. Bahkan, siapa tahu, MBG pesantren bisa jadi model percontohan, baik nasional maupun internasional, untuk intervensi gizi berbasis lembaga pendidikan agama.
Boimin.
Pemerhati Kebijakan Pangan, Menamatkan S3 Ilmu Pangan di University of Massachusetts Amherst, Amerika Serikat, Research Fellow PKSPL IPB.
Artikel Terkait
Tim Relawan China Bantu Evakuasi Korban Banjir Aceh dengan Teknologi Khusus
Tebing Ambrol di Bogor, Akses Kampung Terputus Usai Hujan Deras
Tamu Tak Diundang di Kampung Melayu: Surut Siang, Warga Waspada Banjir Malam
Gedumbak Hampir Lenyap, Terkubur di Bawah Lautan Kayu